Artikel ini telah ditulis oleh Marco Kusumawijaya sebelumnya di:
http://mkusumawijaya.wordpress.com/2013/11/03/menjadi-ekologis-pengantar-untuk-peraturan-perkotaan/
Suatu peraturan tentang kota yang disusun pada saat ini, dan sudah barang tentu untuk membina kota-kota kita dalam setidak-tidaknya dua puluh tahun mendatang, harus mengantarkan kota-kota di Indonesia masuk ke dalam abad ekologis, dengan cara-cara yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Agar tidak simpang-siur, hal-hal dasar ini saya tawarkan di muka untuk mendapat kesepahaman bersama-sama:
- Menjadi ekologis bukanlah sekedar suatu kecenderungan sesaat yang kita ikuti demi citranya, melainkan suatu kebutuhan dasar.
- Menjadi ekologis adalah satu-satunya cara menyintas dan menjadi berdaya saing di masa depan, baik karena pertimbangan pragmatis (karena kota-kota lain telah, dan makin banyak yang melakukannya) maupun karena pertimbangan strategis.
- Transisi ekologis bukanlah suatu beban yang merugikan, melainkan suatu investasi produktif bagi masa depan.
- Menjadi ekologis berarti sekaligus hemat (efisien) dalam produktivitas, dan cara lain untuk tumbuh secara berkualitas lestari.
- Kota krusial sebagai pemakai terbesar (40%) material yang diambil dari alam.
- Kota krusial sebagai tempat konsumsi dan produksi yang makin besar andil-nya. (2006: 50 % penduduk dunia bersifat urban)
- Kota adalah potensi masalah sekaligus solusi.
- Sedang ada temuan-temuan (inovasi) yang terus berlangsung di dalam berbagai bidang, termasuk teknologi bahan, pertanian, partisipasi, dan lain-lain yang harus dimanfaatkan oleh kota dalam mengubah dirinya menjadi ekologis.
- Menjadi ekologis bukan sekedar mengatasi perubahan iklim, yang terjadi karena emisi carbon berlebihan, tetapi mengatasi keterbatasan dan ketertetapan jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan.
- Yang diperlukan bukan saja transisi kota low-carbon tetapi juga low-entropy.
- Bagi negara sedang berkembang, transisi ekologis adalah suatu keuntungan “late comer“, bukan kesusahan yang melebihi negera-negara maju. Ia dapat menghindari kesalahan para pendahulu, dan dapat melompat ke masa depan sama cepat dengan negara maju.
- Bagi negara Indonesia, kekayaan sumber daya alam, adalah sekaligus godaan untukbusiness as usual dan kesempatan melangsungkan transisi ekologis secara mudah dan lestari.
Dengan kata lain, menjadi ekologis bukanlah semata keharusan idealistik moral dansurvival of the fittest, melainkan juga suatu keharusan pragmatis ekonomis, yang pada gilirannya menuntut perubahan sosial, budaya dan politik. Sejauh saya dapat mengumpulkan, ada tiga strategi (bertahap atau berbarengan) untuk kota-kota melakukan transisi ekologis:
1. Decoupling
City Working Group, International Resource Panel (IPC) UNEP menganjurkan suatu pendekatan “decoupling” dalam laporannya. Ada dua decoupling:
- Resource decoupling: melepaskan ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada penggunaan sumber daya
- Impact decoupling: melepaskan pertumbuhan ekonomi dari peningkatan dampak lingkungan.
Laporan ini menekankan pentingnya visi yang dibangkitkan bersama pemangku kepentingan demi memperhatikan sifat-sifat khas tiap-tiap kota. Kota-kota di negara sedang berkembang memiliki keuntungan dibandingkan dengan kota-kota di negara maju, yang telah menjadi tergantung pada teknologi kedaluwarsa (yang tidak ekologis). Kota-kota di negara sedang berkembang dapat secara besar-beasaran membangun teknologi prasarana alternatif untuk melompat ke solusi-solusi yang lebih lestari, daripada melakukan investasi pada apa yang nanti akan dibongkar lagi. Prasarana yang dibangun hari ini akan mempengaruhi aliran sumber daya selama dasawarsa-dasawarsa mendatang. Perencanaan kota harus fokus pada efisiensi sumber daya yang memperhatikan perspektif kelestarian jangka-panjang dan bukan business as usual.
Diperkirakan, untuk memberlangsungkan perubahan-perubahan yang diperlukan, akan terus menerus diperlukan inovasi dan kreativitas, yang karena itu memerlukan peranintermediaries. Resource Decoupling pada kosekuensinya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam, dapat mendorong produktivitas yang lebih tinggi (dan karena itu mengkonsumsi lebih banyak bahan dan energi). Ini berarti daya saing ekonomi akan meningkat. Sedangkan Impact Decoupling akan meningkatkan kualitas lingkungan, dan pada gilirannya kualitas hidup serta kualitas sumber daya manusia. Decoupling adalah strategi ekonomi masa depan. Tetapi decoupling semata tidak mencukupi. Meskipun–melalui decoupling– pemanfaatan sumber daya menjadi lebih efisien, hal itu tidak menghentikan sama sekali pengurasan sumber daya menuju ke tetes penghabisan, sebab jumlah penduduk dunia yang bertambah akan tetap menuntut jumlah total yang besar, meskipun jumlah per kapita mengecil.[3]Pendekatan decoupling hanya menunda unsustainability, tidak membalikkan proses menjadi menuju sustainability. Karena itu diperlukan lagi langkah atau strategi berikutnya, yaitu:
- Substitusi (Substitution) ke bahan dan energi terbarukan.
- Pemulihan (Recovery) kemampuan alam untuk mendukung kehidupan.
2. Substitusi
Sejak revolusi industri, dan terutama meningkat secara tajam sesudah PDII, ketergantungan pada bio-massa menurun, dan ketergantungan pada bahan-bahan tidak terbarukan (mineral dan metal) serta sintetik meningkat. Substitusi pertama-tama bertujuan membalikkan kecenderungan itu.Beberapa pemikiran (antara lain: William McDonough, Cradle to Cradle dan Gunter Pauli, Blue Economy) menganggap dengan substitusi kita tidak perlu “berhemat”. Masalahnya bukan seberapa banyak konsumsi, tapi apa yang dikonsumsi. Apabila yang dikonsumsi itu diproduksi dengan cara-cara yang tidak menimbulkan dampak (misalnya sampah) dan sepenuhnya terbarukan, maka tidak menjadi soal seberapa banyak dikonsumsi. Sebagaimana bangunan, kota harus dapat dibangun dengan bahan dan energi sesedikit mungkin dan, dalam yang sedikit itu sebanyak-banyaknya harus merupakan bahan dan energi terbarukan. Kota yang dihasilkan harus dapat digunakan oleh penghuninya dengan bahan dan senergi yang sedikit-dikitnya, dan sebanyak-banyaknya dalam yang sedikit itu haruslah terbarukan. Proses dan hasil dari membangun kota itu harus memudahkan dan membantu warganya mengubah prilakunya menjadi ekologis. Default option dan nudge[4]dapat ditanamkan dalam sistem kota-kota kita untuk mndorong perubahan prilaku. Substitusi yang berhasil, bahkan bila pun hanya sebagian, pada konsekuensinya juga akan meningkatkan daya saing ekonomi, sebab dalam jangka panjang ketersediaan bahan dan energi akan menjadi makin murah. Maka efisiensi meningkat tanpa kekhawatiran, tanpa batas, setidaknya pada bidang atau value-chain di mana substitusi telah berhasil dilakukan.
3. Pemulihan (Recovery)
Impact decoupling dan substitusi akan menurunkan kecepatan kerusakan alam. Ini akan memberikan waktu kepada alam untuk memulihkan dirinya. Tetapi pemulihan ini dapat dipercepat dengan tindakan sadar berupa investasi sengaja untuk membantu pemulihan alam mendukung kehidupan. Mungkin sekali juga pada kasus-kasus tertentu pemulihan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan memerlukan tindakan aktif, berarti investasi aktif. Strategi pemulihan adalah dengan sengaja, dalam tiap-tiap tindakan pembangunan, menyisihkan atau menginternalisasikan bukan saja biaya kerusakan, tetapi juga biaya investasi kembali kepada alam, untuk memulihkan kapasitasnya hinga lestari (kembali ke kekeadaan semula, sebelum revolusi industri, bila dimungkinkan).
Ada kasus dimana hal tersebut tidak sesulit atau semahal yang diduga orang. Ada suatu contoh di Labuanbajo. Pater Marsel Agot berhasil menghutakan sebuah bukit di sana hanya dalam waktu 10 tahun. Sebagai akibatnya muncul satu aliran sungai permanen dalam beberapa tahun terakhir. (Sungai kedua sedang menjadi). Contoh cita-cita yang sulit tapi bukan tidak mungkin, misalnya adalah: Sungai-sungai di Jakarta (dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia) kembali menjadi sumber air minum, seperti dulu Ciliwung. Pencapaian recovery memenuhi persyaratan yang dirumuskan oleh Our Common Future (Brundtland Report, 1987) sebagai “pembangunan lestari”: “Memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikut memenuhi kebutuhannya.” Pada konsekuensinya, ia juga meningkatkan daya tahan ekonomi, sambil merumuskan kembali ekonomi (oikos-nomos, norma rumah) agar sejalan kembali dengan ekologi (oikos-logos, nalar rumah)
Bagaimana menjabarkan decoupling, substitusi, dan pemulihan, ke dalam pembangunan kota?
- Defisit prasarana dan sarana kota-kota Indonesia yang gawat dalam segala bidang (mobilitas, sanitasi, perumahan, kesenian,..dan lain-lain) harus dibangun baru dalam bentuk dan dengan cara-cara yang ekologis (sesuai nalar-alam), dengan keharusan decoupling, substitusi dan pemulihan di atas.
- Prasarana yang sudah ada harus secara bertahap dirombak menjadi ekologis.
- Sistem dan Bentuk kota (tata ruang dan tata kota) yang sudah ada perlu secara bertahap diarahkan menjadi ekologis
- Kota, bangunan dan unsur-unsur lainnya, yang baru hendak dibangun, harus memenuhi kaidah-kaidah ekologis.
- Kota sebagai suatu sistem harus memudahkan perubahan perilaku penghuni dan pemakainya.
- Tiap-tiap investasi pembangunan harus menyertakan investasi pemulihan ekologis.
Kota-kota ekologis tidaklah sulit dirumuskan, karena sudah cukup banyak penelitian sejak akhir tahun 1960an. Secara sederhana, prioritas pokok bagi kota-kota untuk menjadi ekologis adalah:
- Memprioritaskan angkutan umum
- Memiliki tata ruang yang terpadu dengan efisien dengan sistem mobilitas (angkutan umum), sanitasi, produksi dan distribusi barang dan jasa.
- Melakukan konservasi air
- Melakukan pengolahan sampah hingga menghasilkan zero-waste di dalam dirinya sendiri
- Memprioritaskan penggunaan energi terbarukan dalam semua lapisan
- Mengembangkan hubungan metabolisme sirkuler yang efisien dengan lingkungan sekitar (region)
- Mencerdaskan aset manusianya (politisi, birokrasi, warga) untuk terus menerus secara kolektif kreatif menghasilkan inovasi-inovasi, mampu memperbaharui diri dan menyelesaikan masalah serta tantangan-tantangan masa depan terus menerus.
- Membantu dan memudahkan warganya mengembangkan perilaku konsumsi yang ekologis.
Peraturan atau undang-undang dapat mengarahkan kota-kota Indonesia menjadi ekologis dalam 20 tahun mendatang dengan memberikan dorongan agar mencapai transisi di atas:
- Integrasi Kota dan Kabupaten dalam keputusan bersama tentang hubungan desa-kota, terutama terait dengan arus bahan makanan dan sumber daya alam yang tidak terbagi (air, jasa hutan, udara, …)
- Pengembangan industri daur ulang dan re-capture dengan siste,
- Pengembangan permintaan (demand) atas produk-produk organik, mensubsidi awalsupply, dan membangun prasarana distribusinya.
- Pasar segar sebagai titik strategis mata rantai makanan dan hubungan desa-kota.
- Pengembangan bentuk-bentuk hunian yang kompak, mixed-use, …
- Pengembangan bahan bangunan dan energi terbarukan.
- Mensyaratkan sistem angkutan umum yang handal dan utama
- Tata ruang yang: melestarikan alam, mengintegrasikan sistem mobilitas, sanitasi, hunian berkepadatan tinggi namun berketinggian menengah (4-6 lantai)
- Meninggikan persyaratan bangunan mengunakan elevator (menjadi 6 lantai ke atas).
- Mendorong dan menciptakan ruang serta waktu untuk produksi bersama pengetahuan perkotaan yang spesifik dan komparatif di kalangan masyarakat luas.
- Menggerakkan kerja bersama bukan saja sebagai suatu hak partisipasi politik, melainkan suatu keharusan untuk membangun rasa-memiliki atas rencana perubahan dan memproduksi inovasi kreativ secara maksimal.
Sistem Kota-kota Indonesia.
Sistem mengandaikan unsur-unsur (entitas-entitas) DAN hubungan-hubungan. Karena itu KSPPN perlu menekankan juga bagaimana mengembangkan hubungan-hubungan antara kota-kota dan antara kota dan wilayah sekitarnya di Indonesia:
- mobilitas
- intelektual
- interaksi horisontal disamping yang hirarkis
Dalam hal pembangunan kelestarian hubungan antar-kota dan antara kota dan wilayah (kabupaten) memiliki kepentingan khusus, yaitu mengintegrasikan kembali pengelolaan sumber daya alam dan budaya secara lebih kuat dan jelas. Kota dan wilayah tergantung kepada sumber daya alam yang pada umumnya bersifat lintas batas administrasi, dan hidup saling tergantung dalam entitas-entitas alam: aliran sungai, water-catchment, pulau, sistem arus, sistem angin/udara.
Penguatan hubungan ini memerlukan pemaduan yang tidak sederhana, memerlukan dorongan, diberi panduan, dukungan teknis, diatur protokolnya.Secara ideal, sebenarnya dualisme pemerintahan kabupaten dan kota harus dihapus.Ecological governance memerlukan integrasi antara kota dan wilayah sekitarnya, dengan mempertimbangkan batas-batas ekologis ketimbang administratif.
Kota Cerdas dan Berdaya Saing
Ada banyak arti yang diberikan pada istilah Kota Cerdas dan Berdaya Saing. Yang paling inti adalah makna bahwa pertumbuhan yang bergantung terutama kepada kecerdasan, pada masukan intelektual (inovasi dan kreativitas) bukan material. Selain itu: adanya kemampuan untuk terus menerus beradaptasi dan mencari solusi (tidak ada yang once for all). Dari uraian di atas, jelas bahwa menjadi ekologis adalah salah satu strategi penting yang optimal dan pragmatis untuk meningkatkan daya saing secara lestari. Bagi Indonesia yang kaya sumber daya alam, hal itu lebih-lebih lagi strategisnya.
Yang penting ditegaskan adalah bahwa kecerdasan yang dimaksud bersifat kolektif yang berdasarkan interaksi antar bidang, disiplin, dan warga. Kecerdasan kolektif: 1+1 = >2. Karena itu hubungan-hubungan, ruang dan waktu interaksi adalah sangat penting. Kota yang mendukung proses itu adalah yang bertataruang yang kompak, yang terpadu dengan sistem angkutan umum yang handal. Tata ruang dan pelayanan prasana kota harus baik untuk mendukung dan memudahkan pergaulan antar warga, lintas bidang dan disiplin, agar muncul rasa memiliki dan keinginan untuk berinteraksi dan kontribusi yang saling menguntungkan. Kota harus mampu membangkitkan keinginan untuk mengambil untung dari interaksi.
Kota Hijau
Dalam suatu peraturan resmi, istilah Kota Hijau harus dihindari, karena bersifat metaforik dan kabur. Pada saat ini banyak pihak juga menggunakan istilah “biru” (pada “Ekonomi Biru”). Istilah “ekologis” bersifat sederhana dan langsung: sesuai nalar rumah/alam.
Kotak Layak Huni (Livable City?)
Adalah terkait dengan sistem urutan kota-kota dunia dalam rangka kompetisi menarik investor. Ini sangat terkait dengan kehendak modal, dan tuntutan subyektif manusia tentang kenyamanan. Keduanya merupakan konsep yang sedang dipertanyakan dalam rangka membangun kelestarian (kota termasuk): seberapa jauh alam harus diubah memenuhi tuntutan manusia, dan bukan sebaliknya?
Setidaknya, jalan tengahnya adalah: silakan merumuskan apa saja tingkat kenyamanan yang dikehendaki, asalkan memenuhi syarat-syarat ekologis: decoupling, substitusi, dan pemulihan (yang bila dipenuhi sebenarnya memberikan tingkat kenyamanan tertentu pula).
Jadi, selain sebagai tujuan, Kota Ekologis perlu menjadi syarat bagi keinginan-keinginan lain.
http://mkusumawijaya.wordpress.com/2013/11/03/menjadi-ekologis-pengantar-untuk-peraturan-perkotaan/
Suatu peraturan tentang kota yang disusun pada saat ini, dan sudah barang tentu untuk membina kota-kota kita dalam setidak-tidaknya dua puluh tahun mendatang, harus mengantarkan kota-kota di Indonesia masuk ke dalam abad ekologis, dengan cara-cara yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Agar tidak simpang-siur, hal-hal dasar ini saya tawarkan di muka untuk mendapat kesepahaman bersama-sama:
- Menjadi ekologis bukanlah sekedar suatu kecenderungan sesaat yang kita ikuti demi citranya, melainkan suatu kebutuhan dasar.
- Menjadi ekologis adalah satu-satunya cara menyintas dan menjadi berdaya saing di masa depan, baik karena pertimbangan pragmatis (karena kota-kota lain telah, dan makin banyak yang melakukannya) maupun karena pertimbangan strategis.
- Transisi ekologis bukanlah suatu beban yang merugikan, melainkan suatu investasi produktif bagi masa depan.
- Menjadi ekologis berarti sekaligus hemat (efisien) dalam produktivitas, dan cara lain untuk tumbuh secara berkualitas lestari.
- Kota krusial sebagai pemakai terbesar (40%) material yang diambil dari alam.
- Kota krusial sebagai tempat konsumsi dan produksi yang makin besar andil-nya. (2006: 50 % penduduk dunia bersifat urban)
- Kota adalah potensi masalah sekaligus solusi.
- Sedang ada temuan-temuan (inovasi) yang terus berlangsung di dalam berbagai bidang, termasuk teknologi bahan, pertanian, partisipasi, dan lain-lain yang harus dimanfaatkan oleh kota dalam mengubah dirinya menjadi ekologis.
- Menjadi ekologis bukan sekedar mengatasi perubahan iklim, yang terjadi karena emisi carbon berlebihan, tetapi mengatasi keterbatasan dan ketertetapan jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan.
- Yang diperlukan bukan saja transisi kota low-carbon tetapi juga low-entropy.
- Bagi negara sedang berkembang, transisi ekologis adalah suatu keuntungan “late comer“, bukan kesusahan yang melebihi negera-negara maju. Ia dapat menghindari kesalahan para pendahulu, dan dapat melompat ke masa depan sama cepat dengan negara maju.
- Bagi negara Indonesia, kekayaan sumber daya alam, adalah sekaligus godaan untukbusiness as usual dan kesempatan melangsungkan transisi ekologis secara mudah dan lestari.
Dengan kata lain, menjadi ekologis bukanlah semata keharusan idealistik moral dansurvival of the fittest, melainkan juga suatu keharusan pragmatis ekonomis, yang pada gilirannya menuntut perubahan sosial, budaya dan politik. Sejauh saya dapat mengumpulkan, ada tiga strategi (bertahap atau berbarengan) untuk kota-kota melakukan transisi ekologis:
- Decoupling.
- Substitusi.
- Recovery.
1. Decoupling
City Working Group, International Resource Panel (IPC) UNEP menganjurkan suatu pendekatan “decoupling” dalam laporannya. Ada dua decoupling:
- Resource decoupling: melepaskan ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada penggunaan sumber daya
- Impact decoupling: melepaskan pertumbuhan ekonomi dari peningkatan dampak lingkungan.
Laporan ini menekankan pentingnya visi yang dibangkitkan bersama pemangku kepentingan demi memperhatikan sifat-sifat khas tiap-tiap kota. Kota-kota di negara sedang berkembang memiliki keuntungan dibandingkan dengan kota-kota di negara maju, yang telah menjadi tergantung pada teknologi kedaluwarsa (yang tidak ekologis). Kota-kota di negara sedang berkembang dapat secara besar-beasaran membangun teknologi prasarana alternatif untuk melompat ke solusi-solusi yang lebih lestari, daripada melakukan investasi pada apa yang nanti akan dibongkar lagi. Prasarana yang dibangun hari ini akan mempengaruhi aliran sumber daya selama dasawarsa-dasawarsa mendatang. Perencanaan kota harus fokus pada efisiensi sumber daya yang memperhatikan perspektif kelestarian jangka-panjang dan bukan business as usual.
Diperkirakan, untuk memberlangsungkan perubahan-perubahan yang diperlukan, akan terus menerus diperlukan inovasi dan kreativitas, yang karena itu memerlukan peranintermediaries. Resource Decoupling pada kosekuensinya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam, dapat mendorong produktivitas yang lebih tinggi (dan karena itu mengkonsumsi lebih banyak bahan dan energi). Ini berarti daya saing ekonomi akan meningkat. Sedangkan Impact Decoupling akan meningkatkan kualitas lingkungan, dan pada gilirannya kualitas hidup serta kualitas sumber daya manusia. Decoupling adalah strategi ekonomi masa depan. Tetapi decoupling semata tidak mencukupi. Meskipun–melalui decoupling– pemanfaatan sumber daya menjadi lebih efisien, hal itu tidak menghentikan sama sekali pengurasan sumber daya menuju ke tetes penghabisan, sebab jumlah penduduk dunia yang bertambah akan tetap menuntut jumlah total yang besar, meskipun jumlah per kapita mengecil.[3]Pendekatan decoupling hanya menunda unsustainability, tidak membalikkan proses menjadi menuju sustainability. Karena itu diperlukan lagi langkah atau strategi berikutnya, yaitu:
- Substitusi (Substitution) ke bahan dan energi terbarukan.
- Pemulihan (Recovery) kemampuan alam untuk mendukung kehidupan.
2. Substitusi
Sejak revolusi industri, dan terutama meningkat secara tajam sesudah PDII, ketergantungan pada bio-massa menurun, dan ketergantungan pada bahan-bahan tidak terbarukan (mineral dan metal) serta sintetik meningkat. Substitusi pertama-tama bertujuan membalikkan kecenderungan itu.Beberapa pemikiran (antara lain: William McDonough, Cradle to Cradle dan Gunter Pauli, Blue Economy) menganggap dengan substitusi kita tidak perlu “berhemat”. Masalahnya bukan seberapa banyak konsumsi, tapi apa yang dikonsumsi. Apabila yang dikonsumsi itu diproduksi dengan cara-cara yang tidak menimbulkan dampak (misalnya sampah) dan sepenuhnya terbarukan, maka tidak menjadi soal seberapa banyak dikonsumsi. Sebagaimana bangunan, kota harus dapat dibangun dengan bahan dan energi sesedikit mungkin dan, dalam yang sedikit itu sebanyak-banyaknya harus merupakan bahan dan energi terbarukan. Kota yang dihasilkan harus dapat digunakan oleh penghuninya dengan bahan dan senergi yang sedikit-dikitnya, dan sebanyak-banyaknya dalam yang sedikit itu haruslah terbarukan. Proses dan hasil dari membangun kota itu harus memudahkan dan membantu warganya mengubah prilakunya menjadi ekologis. Default option dan nudge[4]dapat ditanamkan dalam sistem kota-kota kita untuk mndorong perubahan prilaku. Substitusi yang berhasil, bahkan bila pun hanya sebagian, pada konsekuensinya juga akan meningkatkan daya saing ekonomi, sebab dalam jangka panjang ketersediaan bahan dan energi akan menjadi makin murah. Maka efisiensi meningkat tanpa kekhawatiran, tanpa batas, setidaknya pada bidang atau value-chain di mana substitusi telah berhasil dilakukan.
3. Pemulihan (Recovery)
Impact decoupling dan substitusi akan menurunkan kecepatan kerusakan alam. Ini akan memberikan waktu kepada alam untuk memulihkan dirinya. Tetapi pemulihan ini dapat dipercepat dengan tindakan sadar berupa investasi sengaja untuk membantu pemulihan alam mendukung kehidupan. Mungkin sekali juga pada kasus-kasus tertentu pemulihan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan memerlukan tindakan aktif, berarti investasi aktif. Strategi pemulihan adalah dengan sengaja, dalam tiap-tiap tindakan pembangunan, menyisihkan atau menginternalisasikan bukan saja biaya kerusakan, tetapi juga biaya investasi kembali kepada alam, untuk memulihkan kapasitasnya hinga lestari (kembali ke kekeadaan semula, sebelum revolusi industri, bila dimungkinkan).
Ada kasus dimana hal tersebut tidak sesulit atau semahal yang diduga orang. Ada suatu contoh di Labuanbajo. Pater Marsel Agot berhasil menghutakan sebuah bukit di sana hanya dalam waktu 10 tahun. Sebagai akibatnya muncul satu aliran sungai permanen dalam beberapa tahun terakhir. (Sungai kedua sedang menjadi). Contoh cita-cita yang sulit tapi bukan tidak mungkin, misalnya adalah: Sungai-sungai di Jakarta (dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia) kembali menjadi sumber air minum, seperti dulu Ciliwung. Pencapaian recovery memenuhi persyaratan yang dirumuskan oleh Our Common Future (Brundtland Report, 1987) sebagai “pembangunan lestari”: “Memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikut memenuhi kebutuhannya.” Pada konsekuensinya, ia juga meningkatkan daya tahan ekonomi, sambil merumuskan kembali ekonomi (oikos-nomos, norma rumah) agar sejalan kembali dengan ekologi (oikos-logos, nalar rumah)
Bagaimana menjabarkan decoupling, substitusi, dan pemulihan, ke dalam pembangunan kota?
- Defisit prasarana dan sarana kota-kota Indonesia yang gawat dalam segala bidang (mobilitas, sanitasi, perumahan, kesenian,..dan lain-lain) harus dibangun baru dalam bentuk dan dengan cara-cara yang ekologis (sesuai nalar-alam), dengan keharusan decoupling, substitusi dan pemulihan di atas.
- Prasarana yang sudah ada harus secara bertahap dirombak menjadi ekologis.
- Sistem dan Bentuk kota (tata ruang dan tata kota) yang sudah ada perlu secara bertahap diarahkan menjadi ekologis
- Kota, bangunan dan unsur-unsur lainnya, yang baru hendak dibangun, harus memenuhi kaidah-kaidah ekologis.
- Kota sebagai suatu sistem harus memudahkan perubahan perilaku penghuni dan pemakainya.
- Tiap-tiap investasi pembangunan harus menyertakan investasi pemulihan ekologis.
Kota-kota ekologis tidaklah sulit dirumuskan, karena sudah cukup banyak penelitian sejak akhir tahun 1960an. Secara sederhana, prioritas pokok bagi kota-kota untuk menjadi ekologis adalah:
- Memprioritaskan angkutan umum
- Memiliki tata ruang yang terpadu dengan efisien dengan sistem mobilitas (angkutan umum), sanitasi, produksi dan distribusi barang dan jasa.
- Melakukan konservasi air
- Melakukan pengolahan sampah hingga menghasilkan zero-waste di dalam dirinya sendiri
- Memprioritaskan penggunaan energi terbarukan dalam semua lapisan
- Mengembangkan hubungan metabolisme sirkuler yang efisien dengan lingkungan sekitar (region)
- Mencerdaskan aset manusianya (politisi, birokrasi, warga) untuk terus menerus secara kolektif kreatif menghasilkan inovasi-inovasi, mampu memperbaharui diri dan menyelesaikan masalah serta tantangan-tantangan masa depan terus menerus.
- Membantu dan memudahkan warganya mengembangkan perilaku konsumsi yang ekologis.
Peraturan atau undang-undang dapat mengarahkan kota-kota Indonesia menjadi ekologis dalam 20 tahun mendatang dengan memberikan dorongan agar mencapai transisi di atas:
- Integrasi Kota dan Kabupaten dalam keputusan bersama tentang hubungan desa-kota, terutama terait dengan arus bahan makanan dan sumber daya alam yang tidak terbagi (air, jasa hutan, udara, …)
- Pengembangan industri daur ulang dan re-capture dengan siste,
- Pengembangan permintaan (demand) atas produk-produk organik, mensubsidi awalsupply, dan membangun prasarana distribusinya.
- Pasar segar sebagai titik strategis mata rantai makanan dan hubungan desa-kota.
- Pengembangan bentuk-bentuk hunian yang kompak, mixed-use, …
- Pengembangan bahan bangunan dan energi terbarukan.
- Mensyaratkan sistem angkutan umum yang handal dan utama
- Tata ruang yang: melestarikan alam, mengintegrasikan sistem mobilitas, sanitasi, hunian berkepadatan tinggi namun berketinggian menengah (4-6 lantai)
- Meninggikan persyaratan bangunan mengunakan elevator (menjadi 6 lantai ke atas).
- Mendorong dan menciptakan ruang serta waktu untuk produksi bersama pengetahuan perkotaan yang spesifik dan komparatif di kalangan masyarakat luas.
- Menggerakkan kerja bersama bukan saja sebagai suatu hak partisipasi politik, melainkan suatu keharusan untuk membangun rasa-memiliki atas rencana perubahan dan memproduksi inovasi kreativ secara maksimal.
Sistem Kota-kota Indonesia.
Sistem mengandaikan unsur-unsur (entitas-entitas) DAN hubungan-hubungan. Karena itu KSPPN perlu menekankan juga bagaimana mengembangkan hubungan-hubungan antara kota-kota dan antara kota dan wilayah sekitarnya di Indonesia:
- mobilitas
- intelektual
- interaksi horisontal disamping yang hirarkis
Dalam hal pembangunan kelestarian hubungan antar-kota dan antara kota dan wilayah (kabupaten) memiliki kepentingan khusus, yaitu mengintegrasikan kembali pengelolaan sumber daya alam dan budaya secara lebih kuat dan jelas. Kota dan wilayah tergantung kepada sumber daya alam yang pada umumnya bersifat lintas batas administrasi, dan hidup saling tergantung dalam entitas-entitas alam: aliran sungai, water-catchment, pulau, sistem arus, sistem angin/udara.
Penguatan hubungan ini memerlukan pemaduan yang tidak sederhana, memerlukan dorongan, diberi panduan, dukungan teknis, diatur protokolnya.Secara ideal, sebenarnya dualisme pemerintahan kabupaten dan kota harus dihapus.Ecological governance memerlukan integrasi antara kota dan wilayah sekitarnya, dengan mempertimbangkan batas-batas ekologis ketimbang administratif.
Kota Cerdas dan Berdaya Saing
Ada banyak arti yang diberikan pada istilah Kota Cerdas dan Berdaya Saing. Yang paling inti adalah makna bahwa pertumbuhan yang bergantung terutama kepada kecerdasan, pada masukan intelektual (inovasi dan kreativitas) bukan material. Selain itu: adanya kemampuan untuk terus menerus beradaptasi dan mencari solusi (tidak ada yang once for all). Dari uraian di atas, jelas bahwa menjadi ekologis adalah salah satu strategi penting yang optimal dan pragmatis untuk meningkatkan daya saing secara lestari. Bagi Indonesia yang kaya sumber daya alam, hal itu lebih-lebih lagi strategisnya.
Yang penting ditegaskan adalah bahwa kecerdasan yang dimaksud bersifat kolektif yang berdasarkan interaksi antar bidang, disiplin, dan warga. Kecerdasan kolektif: 1+1 = >2. Karena itu hubungan-hubungan, ruang dan waktu interaksi adalah sangat penting. Kota yang mendukung proses itu adalah yang bertataruang yang kompak, yang terpadu dengan sistem angkutan umum yang handal. Tata ruang dan pelayanan prasana kota harus baik untuk mendukung dan memudahkan pergaulan antar warga, lintas bidang dan disiplin, agar muncul rasa memiliki dan keinginan untuk berinteraksi dan kontribusi yang saling menguntungkan. Kota harus mampu membangkitkan keinginan untuk mengambil untung dari interaksi.
Kota Hijau
Dalam suatu peraturan resmi, istilah Kota Hijau harus dihindari, karena bersifat metaforik dan kabur. Pada saat ini banyak pihak juga menggunakan istilah “biru” (pada “Ekonomi Biru”). Istilah “ekologis” bersifat sederhana dan langsung: sesuai nalar rumah/alam.
Kotak Layak Huni (Livable City?)
Adalah terkait dengan sistem urutan kota-kota dunia dalam rangka kompetisi menarik investor. Ini sangat terkait dengan kehendak modal, dan tuntutan subyektif manusia tentang kenyamanan. Keduanya merupakan konsep yang sedang dipertanyakan dalam rangka membangun kelestarian (kota termasuk): seberapa jauh alam harus diubah memenuhi tuntutan manusia, dan bukan sebaliknya?
Setidaknya, jalan tengahnya adalah: silakan merumuskan apa saja tingkat kenyamanan yang dikehendaki, asalkan memenuhi syarat-syarat ekologis: decoupling, substitusi, dan pemulihan (yang bila dipenuhi sebenarnya memberikan tingkat kenyamanan tertentu pula).
Jadi, selain sebagai tujuan, Kota Ekologis perlu menjadi syarat bagi keinginan-keinginan lain.