Kampung yang sekarang disebut sebagai Kampung Cawang Asri ini terletak di belakang dan menempel dengan kampus UKI Cawang yang terkenal karena dianggap daerah rawan copet, dan identik dengan tawuran. Namun yang memberi angin sejuk ialah sejak tahun 2005 tanpa terekpos ke masyarakat dan komunitas arsitektur lainnya, rupanya ada kegiatan parsipatori arsitektur dan akademisi arsitektur, seperti yang diajukan oleh Amos Rapoport telah berjalan sejak 2005 secara konsisten dengan tajuk Green Action. Kegiatan ini berupa pendampingan, pelatihan, penyuluhan tentang ide hidup sehat dan ekologis, dan upaya memberikan pemahaman ringkas tentang hidup berkota. Bahkan FT Arsitektur UKI telah menyelenggarakan seminar nasional dengan menggunakan kantor kelurahan yang ada di sana sebagai tempat seminarnya pada 2010 lalu. Kegiatan ini rupanya sekarang sudah meluas dan melibatkan jurusan dan fakultas lainnya sebagai kegiatan bersama, meski skalanya belum masif serta memerlukan evalusi juga strategi baru agar kegiatan ini tidak berhenti sebagai program kerja temporer semata.
Kampung Cawang Asri yang terletak di tengah-tengah antara gedung-gedung kampus, beberapa kantor, Makodam Jaya, dan pertokoan di jalan Otista – Kalibata ini bila dipetakan sangat mirip labirin, yang ketika ditelusuri pelan-pelan kita menemukan sesekali rumah warga yang cukup luas dan masih ditanami mangga, banyaknya sudut & gang-gang sempit, kuburan kecil, pemakaman keluarga yang terlantar, warung-warung penjual sayur mayur (mereka benar-benar menjual tomat, bayam, wortel, dsb di dalam rumah), toko kelontong, warung indomie, kos-kosan, tempat penjilidan buku, rental warnet, rental playstation, salon, tempat jahit, bengkel service listrik, beberapa proyek percontohan kegiatan kampus, sedikit area terbuka cukup untuk anak-anak main bola, dan termasuk gang buntu. Beberapa rumah kampung disini juga ada yang menjadi bengkel kerja pembuatan oven atau panggangan gas, mirip dengan beberapa kawasan perkampungan batik di Solo dan Jogja. Memang Cawang juga identik dengan kawasan pengrajin industri rumahan pembuatan kompor minyak tanah, tetapi seiring dengan waktu dan perubahan maka mereka beralih menjadi produsen panggangan gas. Jadi cukup menarik menelusurinya, sebab kita selalu dapat menemukan sudut-sudut yang sangat lokal dan belum tentu seragam satu dengan lainnya. Semua rumah benar-benar individual, dan lucunya tidak mengenal batas privasi yang jelas. Warga juga terlihat plural, seperti misalnya ada orang Jogjakarta yang sudah 40 tahun tinggal di sini dan bertetangga dengan pendatang dari Medan. Di kampung seperti ini, kita bisa menemukan orang-orang yang berkumpul di depan rumah mereka, entah sekedar jaga warung atau ngobrol satu dengan lainnya. Kampung Cawang ini juga sering terkena dampak banjir yang hebat hingga beberapa kawasan RT terendam hingga setingga dada orang dewasa. Terutama pada bagian kampung yang kawasannya paling rendah dan pemukimannya menempel langsung dengan alur Kali Ciliwung. Menurut penuturan mereka ketika banjir terjadi, arus air bisa menyeret orang dan menghabisi rumah-rumah yang berada di pinggiran kali tadi. Jadi bisa dibayangkan betapa rumit dan sengsaranya mereka ketika banjir menghabisi semua yang mereka miliki. Air hujan yang turun lebat di Bogor & Puncak dengan cepat segera menjadi arus liar yang melewati rumah-rumah kampung kota, dan terjadi tepat di tengah-tengah kota Jakarta, di tengah-tengah gedung perkantoran, bahkan terlihat dari menara di Apartemen Kalibata City. Jadi anda bisa bayangkan kecepatan air yang meninggi tiba-tiba, apalagi bila ditambah hujan deras tengah turun di Jakarta pada dini hari. Hebatnya mereka terbiasa dengan kondisi tersbut, sehingga lahirlah sikap toleransi antartetangga dan saling bahu-membahu saat bencana tiba.. Sulit bila pemkot tidak digugat oleh rakyatnya sendiri, sementara di sisi lain pengembang swasta menyediakan pintu air, membuat jaringan utilitasnya sendiri, membuat jalan aspal yang bagus, meninggikan urugan permukaan tanah, membuat tanggul, bahkan bila perlu merka sanggup mengelola waduk domestiknya sendiri. Bagaimanapun seharusnya pemerintah itu wajib dan harus menyediakan sarana-prasarana yang layak bagi kepentingan warganya termasuk bergegas memikirkan kembali tata ruang kota, dan mengelola banjir untuk segera dibereskan, selain masalah transportasi tentunya. Kita tidak bisa lagi terjebak dengan wawasan pandang antara swasta atau pemerintah semata, karena pengembang juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika mereka membeli tanah dan meningkatkan kualitasnya termasuk membangun jalan dan meninggikannya sehingga banjir tidak berdampak langsung ke dalam pemukiman mereka. Pemerintah memang dituntut lebih berinisiatif, imanjinatif, dan aktif mengatasi masalah banjir, dan menata pemukiman kampung kota. Dalam hal ini pekerjaan Presiden Joko Widodo (2014-2019) bertambah karena tidak sekedar mengurus negara, melainkan termasuk Jakarta yang ditinggal mantan gubernurnya menjadi presiden. Banjir kota itu memang bencana negara! (Peter YG)
Menurut sosiologi, pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik dalam lingkup ruang pemukiman maupun perkantoran yang berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berkegiatan, tempat hidup atau lingkungan binaan untuk sarana tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan itu sendiri. Oleh karena itu terjadilah pola bermukim dan terbentuklah pemukiman, baik itu terbentuk secara mengelompok, memanjang, atau bahkan menyebar sebagai sebuah suatu natur alamiahnya.
Berbekal pengertian sederhana ini, maka bisa jadi pemukiman yang liar dan kumuh itu bisa jadi hanya sekedar definisi semata, anggapan, dugaan, atau bahkan ilusi perseptual semata. Bagaimana bila rantai-rantai kekakuan keteknisan dilepas dulu sesaat, dan konsep definitif menghuni dan pemukiman itu dikontruksi ulang sehingga pemahaman kumuh, liar, dan janggal tidak lagi mengikat. Mari bermain dengan imajinasi dan sedikit berpikir lebih liar, katakanlah ini adalah ide yang skeptis sekalipun, namun layak diimpikan dan dipertimbangkan. Mari melihat ruang di bawah kolong jembatan, bangunan tak bertuan, tanah-tanah sisa, hunian terabaikan, bahkan ruas tanah pinggir kali, dan pinggir jalan kereta api, serta gugus pemukiman di sana yang diidentifikasi sebagai pemukiman liar, informal, dan kumuh. Masalah yang terjadi di sana itu bukan sekedar akibat ketidakhadiran perangkat teknis untuk melengkapi sebuah prasyarat & persyaratan pemukiman yang laik tinggal semata, namun karena konteks pemukiman yang akomodatif terhadap perilaku manusia yang disebut manusia informal itu tidak tersedia secara naluri dan diimbangi dengan modal teknis yang tepat oleh pemerintah kota setempat. Akibatnya pemerintah terbiasa mengambil jalan keluar dan melakukan penggusuran atau relokasi, tanpa memerhatikan di pemukiman seperti itulah orang-orang yang bekerja sebagai penyapu jalanan, loper koran, tukang tambal ban, warteg, ibu-ibu jualan jamu gendong, tukang ojek, dan pekerja-pekerja informal lainnya yang justru bertinggal; bermukim lalu, ironisnya mereka dibutuhkan utk melayani perikehidupan lainnya yang disebut sebagai kehidupan formal dan normal.
Arsitek Kurokawa (Kurokawa 1997, 68-70) pernah menyarankan tentang model pembangunan pemukiman partisipatif yang lentur dan organik sehingga menelurkan gagasan metabolisme arsitektur perkotaan. Gagasan hunian; hotel kapsul yang sekarang mudah ditemui di Jepang bisa dikatakan adalah hasil konsep berpikir Kurokawa saat itu. Lalu bagaimana dengan konteks pemukiman tadi di awal artikel ini ditulis? Saya justru berharap agar gagasan dan definisi rumah liar, dan hunian kumuh itu dihapus saja karena justru terbukti tidak membuat terobosan pemikiran bersahaja dlm desain kota dan membuat arsitek, termasuk desainer interior itu tertantang untuk berpikir di luar batas, dan memikirkan kotak wacana terobosan secara desain. Pendekatan menggusur dan merelokasi manusia dari habitatnya itu hanya dengan sekedar memindahkan manusia dari kebiasaan lamanya yang ditenggarai kumuh, jelek, liar, tidak manusiawi, terbelengkalai, dan informal ini bahkan akhirnya terjebak menjadi sekedar proyek teknik, dan moda unjuk gigi aparat dengan perangkat penegakan hukumnya untuk merampas hak bermukim manusia. Kenyataannya, ketika mereka sudah pindah sekalipun ke tempat bermukim yg baru sekalipun, kekumuhannya masih tetap saja melekat dengan kesehariannya dahulu. Sudah seharusnya konteks ini diperbincangkan kembali dengan memerhatikan sumbangsih ekologis dan metabolisme terhadap gagasan menghuni pada pemukiman-pemukiman seperti ini. Pada akhirnya manusia sanggup beradaptasi terhadap lingkungan dan alamnya, dan gerobak sampah pemulung sekalipun adalah tilam paling nikmat untuk merebahkan kepala.
Notes: Metabolism in Architecture Kisho Kurokawa Theories and Manifestoes of Contemporary Arhitecture Halaman 68 – 70 National Book Network, 1997
Pada Sabtu, 27 September 2014 lalu telah diadakan Workshop Sesi 3.0 dengan tema Transportasi, dengan narasumber Azas Tigor Nainggolan dari Forum Warga Kota Jakarta dan Putri Sentanu dari nebengers.com. Keduanya membahas tentang peliknya masalah transportasi umum yang tampak tiada kunjung selesai dengan pemahaman dan pendekatan yang berbeda. Azas Tigor Nainggolan mengambil sudut pandang seorang aktivis, pengacara, dan seorang pemerhati masalah perkotaan dengan seruan: "Kita harus rebut kota!" dengan maksud menantang kaum muda Menjadi Ekologis untuk mengambil peran dalam perencanaan kota melalui cara membuat usulan-usulan desain kepada pemerintah kota secara terus menerus lewat kanal-kanal alternatif, misalnya melalui lembaga swadaya masyarakat. Di sisi lain, sebaliknya Putri Sentanu itu layaknya masyarakat yang merespon peliknya masyarakat bertransportasi massal alih-alih melakukan terobosan madani dengan menyerukan agar para komuter bisa saling nebeng bersama-sama untuk ke satu tujuan. Sebuah terobosan ide yang berkembang pesat lewat jaringan komunitas, dan sosial media di dunia maya yang segera mewabah dan mengilhami banyak warga kota, khususnya Jakarta. Mari melihat Bangkok hari-hari ini. Di sana Anda akan menemukan beberapa lapis sistem transportasi massal yang terbentuk dan menghubungkan jalan-jalan utama mereka. Lapisan pertama ialah kereta bawah tanah, lalu lapis kedua yang menjadi koridor jalan utama bagi kendaraan bermotor pribadi dan kendaraan umum, lalu lapisan jalur jalan skytrain, kemudian lapisan koridor pejalan kaki yg melayang di atas jalan utama kendaraan beroda, dan lapis moda angkutan umum pada kanal-kanal airnya. Sistem ini diusahakan saling tali-temali dengan stasiun perhentian yang terpadu dengan koridor pusat perbelanjaan dan area pemukiman. Meski tetap ada kemacetan di sana, namun demikian, hali itu masih dapat ditoleransi.
Mari bayangkan seperti ini, di Pasar Baru terdapat jembatan penyeberangan yang berfungsi juga sebagai koridor belanja, maka andaikata di bawah tanahnya terdapat rute kereta maka kita akan turun ke bawah, antri tiket elektronik dan kembali pulang ke rumah yang ada di Cijantung hanya dalam tempo 45 menit. Atau bayangkan, Anda naik ke lantai jembatan tadi untuk antri tiket kereta layang ke arah Tebet dan turun tepat di stasiun yang menghubungkannya dengan Pizza Hut Tebet. Atau bisa juga naik busway lalu turun di depan Trisakti, kemudian naik ke lapis atasnya dan lanjutkan lagi ke arah Dadap Tangerang dengan kereta layang, atau monorail. Silahkan juga antri tiket kembali dan melanjutkannya ke arah Taman Anggrek, turun sebentar dan segera ganti haluan tanpa harus keluar dari stasiun terpadu tadi di bawah tanahnya, dan segera ambil rute ke arah Cinere. Semua ruas itu saling terhubung, dan dimensi jarak jauh- dekat menjadi relatif sekarang.
Pejalan kaki juga tidak usah takut ditabrak, sebab ada jalur pejalan kaki yang teduh, rindang, dan ramah. Di setiap 100 - 200 meter ada bangku di koridor jalan, juga tempat sampah yang bersih. Saat itu moda transportasi individual berbasis karbon & timbal berkurang banyak, dan itu tidak membuat warga kota merasa susah hati, malah lebih gembira dan riang untuk menikmati ruang dan koridor kota sambil sesekali melempar butiran makanan merpati ke pinggiran taman kota di depan Taman Anggrek. Semua serba cepat, murah, tepat waktu, efektif, dan terpadu. Peralihan ekologis ini menyenangkan semua orang karena tindakan pemaksaan untuk merubah perilaku berkendaraan berbasis energi dan sikap konsumtif atas bahan bakar, termasuk penggunaan moda transportasi individual berkurang banyak dan telah dikekang oleh hukum, denda, peraturan, sanksi, dan sekaligus apresiasi bagi mereka yang mengikutinya.
Paling tidak sarana & manajemen transportasi massal seperi itulah yang sudah ada dan dinikmati warga kota di Bangkok. Saat ini bila bertinggal dan bertransportasi di Jakarta, patutlah menimbang durasi di jalan guna melihat "kedekatan antartitik temu", bukan lagi sekedar menghitung dimensi kilometer tempuh. Mengapa demikian? Karena jarak tempuh sudah tidak lagi menjadi isu tentang kedekatan antartempat, melainkan waktu tempuh yang sudah semakin tidak terduga dengan indikasi kemacetan hingga paling cepat 1 jam. Bila saja Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia segera memerhatikan isu-isu transportasi berbasis komunal, komunitas, dan massal untuk perencanaan kota jangka panjang, maka sudah saatnya pemerintahan baru kelak Presiden Joko Widodo (2014-2019) memerhatikan pula isu manajemen transportasi massal ini, tersedia tidak hanya di Jakarta semata melainkan segara dibangun juga pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sebelum kota-kota itu menjadi besar dengan probelamatika yang sama yang dialami Jakarta. Sudah waktunya kampanye transportasi yang ekologis itu menjadi hak warga kota juga, dan saatnya direbut! (Peter YG)
Pada hari Sabtu, 27 September 2014 lalu telah dilaksanakan Workshop 3.0 Menjadi Ekologis dengan narasumber Azas Tigor Nainggolan. Berikut adalah hasil presentasi dan pemaparannya:
In terms of being ecological, it’s easy for bikers to say, “Everyone should bike” and for gardeners to say, “Everyone can garden.” But for people who see biking and gardening as complicated, irritating, useless, we couldn’t just mock them and hope that that could change their mind.
So two weeks ago my friends and I joined the second workshop of Menjadi Ekologis which rendered “transportation” as its main theme. Speaking about the issue of building the six new toll roads, Dharmanigtyas and Andesh from Rujak Center of Urban Studies (RCUS) each gave a 30 minute presentation about how it was better for us to use public transportation rather than private cars.
I was sitting upright peacefully, listening to the discussion until one moment when I realized that two of my friends were mumbling exasperatedly to each other. After the workshop I asked what they were talking about and one of them asked me back, “Do you like being criticized or being complimented more? Are you interested more in being accused or having hopes?”
That was what the workshop left my friends with.
Being members of "our generation" - who are now on our twenties and thirties perhaps-, using public transportation in Jakarta may seem to be ‘too heroic’. Not only because of our familiarity and trust toward that moving four-wheeled trapezoid prisms –since we born and grow parallel with them-, our preferable is also influenced by the menial condition of the public transportations themselves. Revoking this generation’s shameful habit that we were spoiled by misleading opportunity of the era wouldn’t do any good.
“He is not even standing on our shoes,” She said reminiscing how Dharmanigtyas referred us to ‘the young generation’. I nodded agreeing that they are the members of the generation in which planting mango trees was still handy, in which privacy was still an alien, in which using containers is not seen as impractical compared to the Styrofoam containers. “Do they feel sanctimonious just because they are naturally that kind of guys?” I know that our defensive comments might sound ridiculous. But that is what their censure sounded in our ears too.
Anyway, now, do we all see how this way of campaigning would lead us nowhere but only to attacking each other and defending ourselves -which definitely is not the goal of the campaign itself?
"Maybe yes, our generation is spoiled. But still, if it was nice, I would love to use public transportation; just like how I enjoyed travelling with commuter line around Jakarta the other day,"
My friends smiled, recalling their trip.
So in the conclusion, it is true that we are actually heterogenous. That demonstrates how there are plenty of things that can scattered us from focusing into one huge communal goal that, in this case, is to become ecological.
That goal itself is the way of how this campaign should be brought by. We need to campaign positively by asserting the vision of how beautiful Jakarta's future public transportations might be, not criticizing the only comfortable that we have.
It's truly useless, even harmful, to push us off the game; because undoubtedly, Jakarta people are too busy to play if it was actually ‘only’ a game of winning or losing. In the end she said, "Hopes -and compliments- are what to pull us forward, not residing criticism". (Fernisia Winnerdy)
Pada hari Sabtu, 6 September 2014 lalu telah dilaksanakan Workshop 2.0 Menjadi Ekologis dengan narasumber Darmaningtyas dari lembaga riset Institut Transportasi Indonesia; Instran - www.instran.org. Berikut adalah hasil presentasi dan pemaparannya perihal seluk-beluk kebijakan transportasi dan keterkaitannya dengan tata ruang kota.
JAKARTA- Sjaiful Rijal, a friend of mine, admitted being unable to sleep that night on Saturday, August 16th, after he had attended a workshop titled “Estetika Banal” (“Banal Aesthetics”) which was held by Menjadi Ekologis, a non-profit organization, some hours before then.
Starring the famous Indonesian street photographer, Erik Prasetya, the almost-three-hour presentation and discussion left Rijal anxious. “It was intriguing, indeed!” he said.
That first of series of biweekly workshops to incept the attendants with the idea of menjadi ekologis (becoming ecological) seemed to meet its goal on Rijal. Although “it was too long” the workshop which packed the Cinema Room of Institute Francais Indonesia with 22 souls was ‘hot’ enough to trigger questions that had been lying on the abyss of Rijal’s mind.
“It was nice to witness those after-working women walking on flat shoes holding their high heels through Erik Prasetya’s lens, but we have to consider that as a form of individual adaptation, one that based on a woman’s egocentric instinct in surviving in this city.” Rijal then quoted Susiadi Wibowo’s notion at the opening of the workshop that we needed to think communally, not individually.
He commented on those people who ride on The Bus Way, “They mean nothing but to find a solution for themselves. Is that a wrong thing to do, such a survival act? No! That’s very natural. But there can be many more ecological solutions if only we think as a community.”
Speaking about the Trans Jakarta, I then reminded about an insight given by Imma Anindyta, one of the participants. She proclaimed that people who stiffly crowding in The Trans Jakarta were the real heroes who had to be proud of themselves. “…and shame on us who still drive a car!” she added.
I was reminded about how my munificent lift-offerings to my friends were sometimes partly due to sharing my guilt in driving a car down in the city for my own. How can I not? I know about global warming, but still I sit behind the wheel and the shallow reasons to mask my ego. I knew that Rijal was then talking about me too, one of those individualistic ‘ecologicians’.
Then, wider than all the photos at the workshop, the conversation went to Rijal’s experience in attending one seminar held in Universitas Indonesia some years before. He reminisced about how Sutiyoso, the former Jakarta governor, cared not to listen but only to give his speech. One professor then noted that although the city had so many problems, the government hardly ever asked the academicians for help. Rijal pointed the scene as a true bold line between academicians and practitioners, a real example of how un-ecological we were and how much potential our city actually had.
I agreed about how lengthy yet not enough the first workshop was, how there must still be many thoughts unspoken, many anxiety hackneyed and buried deep there –unaesthetically-, many more caring-yet-still-reticent people should be involved.
Rijal believes that these workshops can be the spots to dig the answers out for his questions, “How is it to make people care about each other? How is it to bring people to think collectively? How is it to make us think of ourselves as a part of the ecosystem, not of the ecosystem as a part of ourselves?”
To know more about the workshops, the background, and the big idea of Menjadi Ekologis, and of course to participate, please also follow us on twitter (@menjadiekologis), and or join our Facebook group MENJADI EKOLOGIS. (Fernisia Winnerdy)
ESTETIKA TEGANGAN ANTARA : SEBUAH TAFSIRAN ATAS PELATIHAN 01. POKJA: MENJADI EKOLOGIS DENGAN NARASUMBER ERIK PRASETYA: BANAL ESTETIK.
JAKARTA - Sulit memahami Estetika Banal tanpa bekal kepedulian akan kemanusiaan, apalagi bagi individu yang lahir di Jakarta dari keluarga sederhana dan telah terbiasa sejak SMP bergaul dengan transportasi publik (KRL, Metromini, Kopaja, Angkot dan Ojek). Di biasakan oleh orang tua untuk menjadi ikutan banal bagian dari proses melatih menjadi ‘Orang Jakarta’ katanya. Ikut merasakan diturunkan ditengah jalan trayek dan pindah ke biskota yang lain. Tipe warga seperti ini, mungkin sekali kemanusiaannya telah bertransformasi kedalam bentuk lain; lebih mementingkan diri sendiri.
Bukan berarti saya menganggap kemanusiaan model diatas bermutu rendah. Dalam keadaan sangat tertekan, kemanusian itu pribadi sekali dan hak azasi. Dan jalinan hubungan sangat pribadi tersebut dominan di Jakarta. Erik Prasetya mencontohkan ketika mudik. Budaya mudik menurut pengamatan beliau, lebih dari sekedar menjenguk orang tua di kampung yang masih hidup. Bersama anak-anaknya yang baru lahir di Jakarta, sang Ayah mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan sambil menyisipkan sedikit arogansi seperti ‘ Rugi saja merantau jauh-jauh dari kampung jika tak mampu mudik setahun sekali’. Fenomena berhimpitan dalam kapal laut atau bis; sesaat membuat kumpulan manusia itu tak bernama karena hampir rata-rata mereka yang mudik tak kenal satu sama-lain ketika berhimpitan. Mereka menjadi bernama lagi ketika sampai di rumah orang tuanya dalam kerabatnya.
Pengalaman naik transportasi umum di Jakarta dalam keadaan tak ada pilihan (tak mampu beli kendaraan roda dua atau roda empat) bukan hal yang mudah untuk dipahami. Buruknya system transportasi Indonesia mulai dari daerah, berimbas sampai ke Jakarta. Kebiasaan bergerak berpindah tempat mengandalkan motor atau kendaraan saudara (pribadi), telah membuat galau sesampai di Jakarta. Dengan skala kota yang lebih besar dan manusia lebih banyak, berebut naik bis kota bukan pengalaman indah untuk diceritakan. Dan tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk mengatakan kenyamanan telah berada dititik terendahnya.
Teman saya bercerita: ‘Saya pribadi sudah pernah bekerja 2 tahun di kawasan SCBD; dan selama itu selalu setiap malam berjalan kaki sejauh 200 meter menyeberang jembatan penyeberangan di depan BEJ dan tunggu bis ke arah UKI-Cawang untuk sambung angkot ke Pondok Gede. Kadang terlunta-lunta cukup lama di depan halte bis sisi Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) dan lanjut terlunta-lunta lagi di UKI-Cawang. Jika malam sudah larut sesekali habis gajian berhenti di jalanan Pasar Pondok Gede dan membeli sayur-mayur. Dan itu berarti waktu sudah jam 12 belas malam, Kawan!’
Sungguh sukar membayangkan hari-hari itu, teman saya melalui semuanya dengan tertekan, santai dan bercengkrama sambil bermain catur di UKI. Hidup di Jakarta susah, dirampok saja ditengah jalan tak ada yang bantu.
Hari ini, tentu dia jauh lebih baik setelah bertarung selama 20 tahun. Dan sesekali naik biskota itu hanya romantisme dan pilihan paling masuk akal untuk mengatasi macet. Dikala dia susah, naik transportasi umum adalah hal yang paling tidak masuk akal.
Jadi, sesungguhnya bagi sebagian warga Jakarta menipu diri dengan bersembunyi di mall-mall untuk mengelabui kesemrautan lalu-lintas di jam pulang kantor adalah pilihan rasional daripada terjebak macet dan menghabiskan bensin. Meskipun ketika bill tagihan nongkrong disodorkan, ongkos ‘menipu diri’ ditambah ongkos bensin normal tanpa macet berlipat ganda.
Nah, Erik Prasetya melalui Banal Estetik, menurut tafsiran saya sedang melakukan pengamatan sangat serius terkaitgonjang-ganjing formasi rasional. Apa itu rasional-irasional dan jika itu irasional mengapa terus dilakukan seolah-olah tanpa daya.
Kemungkinannya adalah beberapa warga mampu menemukan ruang bercanda dalam rutinitas kesemrautan. Dalam keadaan seperti inilah Erik Prasetya percaya: Pasti ada seni disana. Hanya seni yang mampu membuat manusia bertahan dalam penat. Seni paling dasar yaitu naluriah. Ketika rutinitas keprihatinan dijalankan terus menerus, pasti ada formasi estetika baru yang berbahasa baru. Dalam istilahnya adalah estetika dalam ketegangan antara (antara tegangan tinggi-rendah). Dan makin tipis semakin dikejar, setipis foto antara cantik dan taik!
Dari saya yang ikut terpukau oleh jajaran manusia yang bergerak-gerak membelah Sudirman-Thamrin Jakarta dan tiba-tiba kita menjadi titik.
Minggu, 17 Agustus 2014. Merdeka! (Murni Khuarizmi)