ESTETIKA TEGANGAN ANTARA : SEBUAH TAFSIRAN ATAS PELATIHAN 01. POKJA: MENJADI EKOLOGIS DENGAN NARASUMBER ERIK PRASETYA: BANAL ESTETIK.
JAKARTA - Sulit memahami Estetika Banal tanpa bekal kepedulian akan kemanusiaan, apalagi bagi individu yang lahir di Jakarta dari keluarga sederhana dan telah terbiasa sejak SMP bergaul dengan transportasi publik (KRL, Metromini, Kopaja, Angkot dan Ojek). Di biasakan oleh orang tua untuk menjadi ikutan banal bagian dari proses melatih menjadi ‘Orang Jakarta’ katanya. Ikut merasakan diturunkan ditengah jalan trayek dan pindah ke biskota yang lain. Tipe warga seperti ini, mungkin sekali kemanusiaannya telah bertransformasi kedalam bentuk lain; lebih mementingkan diri sendiri.
Bukan berarti saya menganggap kemanusiaan model diatas bermutu rendah. Dalam keadaan sangat tertekan, kemanusian itu pribadi sekali dan hak azasi. Dan jalinan hubungan sangat pribadi tersebut dominan di Jakarta. Erik Prasetya mencontohkan ketika mudik. Budaya mudik menurut pengamatan beliau, lebih dari sekedar menjenguk orang tua di kampung yang masih hidup. Bersama anak-anaknya yang baru lahir di Jakarta, sang Ayah mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan sambil menyisipkan sedikit arogansi seperti ‘ Rugi saja merantau jauh-jauh dari kampung jika tak mampu mudik setahun sekali’. Fenomena berhimpitan dalam kapal laut atau bis; sesaat membuat kumpulan manusia itu tak bernama karena hampir rata-rata mereka yang mudik tak kenal satu sama-lain ketika berhimpitan. Mereka menjadi bernama lagi ketika sampai di rumah orang tuanya dalam kerabatnya.
Pengalaman naik transportasi umum di Jakarta dalam keadaan tak ada pilihan (tak mampu beli kendaraan roda dua atau roda empat) bukan hal yang mudah untuk dipahami. Buruknya system transportasi Indonesia mulai dari daerah, berimbas sampai ke Jakarta. Kebiasaan bergerak berpindah tempat mengandalkan motor atau kendaraan saudara (pribadi), telah membuat galau sesampai di Jakarta. Dengan skala kota yang lebih besar dan manusia lebih banyak, berebut naik bis kota bukan pengalaman indah untuk diceritakan. Dan tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk mengatakan kenyamanan telah berada dititik terendahnya.
Teman saya bercerita: ‘Saya pribadi sudah pernah bekerja 2 tahun di kawasan SCBD; dan selama itu selalu setiap malam berjalan kaki sejauh 200 meter menyeberang jembatan penyeberangan di depan BEJ dan tunggu bis ke arah UKI-Cawang untuk sambung angkot ke Pondok Gede. Kadang terlunta-lunta cukup lama di depan halte bis sisi Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) dan lanjut terlunta-lunta lagi di UKI-Cawang. Jika malam sudah larut sesekali habis gajian berhenti di jalanan Pasar Pondok Gede dan membeli sayur-mayur. Dan itu berarti waktu sudah jam 12 belas malam, Kawan!’
Sungguh sukar membayangkan hari-hari itu, teman saya melalui semuanya dengan tertekan, santai dan bercengkrama sambil bermain catur di UKI. Hidup di Jakarta susah, dirampok saja ditengah jalan tak ada yang bantu.
Hari ini, tentu dia jauh lebih baik setelah bertarung selama 20 tahun. Dan sesekali naik biskota itu hanya romantisme dan pilihan paling masuk akal untuk mengatasi macet. Dikala dia susah, naik transportasi umum adalah hal yang paling tidak masuk akal.
Jadi, sesungguhnya bagi sebagian warga Jakarta menipu diri dengan bersembunyi di mall-mall untuk mengelabui kesemrautan lalu-lintas di jam pulang kantor adalah pilihan rasional daripada terjebak macet dan menghabiskan bensin. Meskipun ketika bill tagihan nongkrong disodorkan, ongkos ‘menipu diri’ ditambah ongkos bensin normal tanpa macet berlipat ganda.
Nah, Erik Prasetya melalui Banal Estetik, menurut tafsiran saya sedang melakukan pengamatan sangat serius terkaitgonjang-ganjing formasi rasional. Apa itu rasional-irasional dan jika itu irasional mengapa terus dilakukan seolah-olah tanpa daya.
Kemungkinannya adalah beberapa warga mampu menemukan ruang bercanda dalam rutinitas kesemrautan. Dalam keadaan seperti inilah Erik Prasetya percaya: Pasti ada seni disana. Hanya seni yang mampu membuat manusia bertahan dalam penat. Seni paling dasar yaitu naluriah. Ketika rutinitas keprihatinan dijalankan terus menerus, pasti ada formasi estetika baru yang berbahasa baru. Dalam istilahnya adalah estetika dalam ketegangan antara (antara tegangan tinggi-rendah). Dan makin tipis semakin dikejar, setipis foto antara cantik dan taik!
Dari saya yang ikut terpukau oleh jajaran manusia yang bergerak-gerak membelah Sudirman-Thamrin Jakarta dan tiba-tiba kita menjadi titik.
Minggu, 17 Agustus 2014. Merdeka!
(Murni Khuarizmi)
JAKARTA - Sulit memahami Estetika Banal tanpa bekal kepedulian akan kemanusiaan, apalagi bagi individu yang lahir di Jakarta dari keluarga sederhana dan telah terbiasa sejak SMP bergaul dengan transportasi publik (KRL, Metromini, Kopaja, Angkot dan Ojek). Di biasakan oleh orang tua untuk menjadi ikutan banal bagian dari proses melatih menjadi ‘Orang Jakarta’ katanya. Ikut merasakan diturunkan ditengah jalan trayek dan pindah ke biskota yang lain. Tipe warga seperti ini, mungkin sekali kemanusiaannya telah bertransformasi kedalam bentuk lain; lebih mementingkan diri sendiri.
Bukan berarti saya menganggap kemanusiaan model diatas bermutu rendah. Dalam keadaan sangat tertekan, kemanusian itu pribadi sekali dan hak azasi. Dan jalinan hubungan sangat pribadi tersebut dominan di Jakarta. Erik Prasetya mencontohkan ketika mudik. Budaya mudik menurut pengamatan beliau, lebih dari sekedar menjenguk orang tua di kampung yang masih hidup. Bersama anak-anaknya yang baru lahir di Jakarta, sang Ayah mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan sambil menyisipkan sedikit arogansi seperti ‘ Rugi saja merantau jauh-jauh dari kampung jika tak mampu mudik setahun sekali’. Fenomena berhimpitan dalam kapal laut atau bis; sesaat membuat kumpulan manusia itu tak bernama karena hampir rata-rata mereka yang mudik tak kenal satu sama-lain ketika berhimpitan. Mereka menjadi bernama lagi ketika sampai di rumah orang tuanya dalam kerabatnya.
Pengalaman naik transportasi umum di Jakarta dalam keadaan tak ada pilihan (tak mampu beli kendaraan roda dua atau roda empat) bukan hal yang mudah untuk dipahami. Buruknya system transportasi Indonesia mulai dari daerah, berimbas sampai ke Jakarta. Kebiasaan bergerak berpindah tempat mengandalkan motor atau kendaraan saudara (pribadi), telah membuat galau sesampai di Jakarta. Dengan skala kota yang lebih besar dan manusia lebih banyak, berebut naik bis kota bukan pengalaman indah untuk diceritakan. Dan tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk mengatakan kenyamanan telah berada dititik terendahnya.
Teman saya bercerita: ‘Saya pribadi sudah pernah bekerja 2 tahun di kawasan SCBD; dan selama itu selalu setiap malam berjalan kaki sejauh 200 meter menyeberang jembatan penyeberangan di depan BEJ dan tunggu bis ke arah UKI-Cawang untuk sambung angkot ke Pondok Gede. Kadang terlunta-lunta cukup lama di depan halte bis sisi Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) dan lanjut terlunta-lunta lagi di UKI-Cawang. Jika malam sudah larut sesekali habis gajian berhenti di jalanan Pasar Pondok Gede dan membeli sayur-mayur. Dan itu berarti waktu sudah jam 12 belas malam, Kawan!’
Sungguh sukar membayangkan hari-hari itu, teman saya melalui semuanya dengan tertekan, santai dan bercengkrama sambil bermain catur di UKI. Hidup di Jakarta susah, dirampok saja ditengah jalan tak ada yang bantu.
Hari ini, tentu dia jauh lebih baik setelah bertarung selama 20 tahun. Dan sesekali naik biskota itu hanya romantisme dan pilihan paling masuk akal untuk mengatasi macet. Dikala dia susah, naik transportasi umum adalah hal yang paling tidak masuk akal.
Jadi, sesungguhnya bagi sebagian warga Jakarta menipu diri dengan bersembunyi di mall-mall untuk mengelabui kesemrautan lalu-lintas di jam pulang kantor adalah pilihan rasional daripada terjebak macet dan menghabiskan bensin. Meskipun ketika bill tagihan nongkrong disodorkan, ongkos ‘menipu diri’ ditambah ongkos bensin normal tanpa macet berlipat ganda.
Nah, Erik Prasetya melalui Banal Estetik, menurut tafsiran saya sedang melakukan pengamatan sangat serius terkaitgonjang-ganjing formasi rasional. Apa itu rasional-irasional dan jika itu irasional mengapa terus dilakukan seolah-olah tanpa daya.
Kemungkinannya adalah beberapa warga mampu menemukan ruang bercanda dalam rutinitas kesemrautan. Dalam keadaan seperti inilah Erik Prasetya percaya: Pasti ada seni disana. Hanya seni yang mampu membuat manusia bertahan dalam penat. Seni paling dasar yaitu naluriah. Ketika rutinitas keprihatinan dijalankan terus menerus, pasti ada formasi estetika baru yang berbahasa baru. Dalam istilahnya adalah estetika dalam ketegangan antara (antara tegangan tinggi-rendah). Dan makin tipis semakin dikejar, setipis foto antara cantik dan taik!
Dari saya yang ikut terpukau oleh jajaran manusia yang bergerak-gerak membelah Sudirman-Thamrin Jakarta dan tiba-tiba kita menjadi titik.
Minggu, 17 Agustus 2014. Merdeka!
(Murni Khuarizmi)