Kampung yang sekarang disebut sebagai Kampung Cawang Asri ini terletak di belakang dan menempel dengan kampus UKI Cawang yang terkenal karena dianggap daerah rawan copet, dan identik dengan tawuran. Namun yang memberi angin sejuk ialah sejak tahun 2005 tanpa terekpos ke masyarakat dan komunitas arsitektur lainnya, rupanya ada kegiatan parsipatori arsitektur dan akademisi arsitektur, seperti yang diajukan oleh Amos Rapoport telah berjalan sejak 2005 secara konsisten dengan tajuk Green Action. Kegiatan ini berupa pendampingan, pelatihan, penyuluhan tentang ide hidup sehat dan ekologis, dan upaya memberikan pemahaman ringkas tentang hidup berkota. Bahkan FT Arsitektur UKI telah menyelenggarakan seminar nasional dengan menggunakan kantor kelurahan yang ada di sana sebagai tempat seminarnya pada 2010 lalu. Kegiatan ini rupanya sekarang sudah meluas dan melibatkan jurusan dan fakultas lainnya sebagai kegiatan bersama, meski skalanya belum masif serta memerlukan evalusi juga strategi baru agar kegiatan ini tidak berhenti sebagai program kerja temporer semata.
Kampung Cawang Asri yang terletak di tengah-tengah antara gedung-gedung kampus, beberapa kantor, Makodam Jaya, dan pertokoan di jalan Otista – Kalibata ini bila dipetakan sangat mirip labirin, yang ketika ditelusuri pelan-pelan kita menemukan sesekali rumah warga yang cukup luas dan masih ditanami mangga, banyaknya sudut & gang-gang sempit, kuburan kecil, pemakaman keluarga yang terlantar, warung-warung penjual sayur mayur (mereka benar-benar menjual tomat, bayam, wortel, dsb di dalam rumah), toko kelontong, warung indomie, kos-kosan, tempat penjilidan buku, rental warnet, rental playstation, salon, tempat jahit, bengkel service listrik, beberapa proyek percontohan kegiatan kampus, sedikit area terbuka cukup untuk anak-anak main bola, dan termasuk gang buntu. Beberapa rumah kampung disini juga ada yang menjadi bengkel kerja pembuatan oven atau panggangan gas, mirip dengan beberapa kawasan perkampungan batik di Solo dan Jogja. Memang Cawang juga identik dengan kawasan pengrajin industri rumahan pembuatan kompor minyak tanah, tetapi seiring dengan waktu dan perubahan maka mereka beralih menjadi produsen panggangan gas. Jadi cukup menarik menelusurinya, sebab kita selalu dapat menemukan sudut-sudut yang sangat lokal dan belum tentu seragam satu dengan lainnya. Semua rumah benar-benar individual, dan lucunya tidak mengenal batas privasi yang jelas. Warga juga terlihat plural, seperti misalnya ada orang Jogjakarta yang sudah 40 tahun tinggal di sini dan bertetangga dengan pendatang dari Medan. Di kampung seperti ini, kita bisa menemukan orang-orang yang berkumpul di depan rumah mereka, entah sekedar jaga warung atau ngobrol satu dengan lainnya.
Kampung Cawang ini juga sering terkena dampak banjir yang hebat hingga beberapa kawasan RT terendam hingga setingga dada orang dewasa. Terutama pada bagian kampung yang kawasannya paling rendah dan pemukimannya menempel langsung dengan alur Kali Ciliwung. Menurut penuturan mereka ketika banjir terjadi, arus air bisa menyeret orang dan menghabisi rumah-rumah yang berada di pinggiran kali tadi. Jadi bisa dibayangkan betapa rumit dan sengsaranya mereka ketika banjir menghabisi semua yang mereka miliki. Air hujan yang turun lebat di Bogor & Puncak dengan cepat segera menjadi arus liar yang melewati rumah-rumah kampung kota, dan terjadi tepat di tengah-tengah kota Jakarta, di tengah-tengah gedung perkantoran, bahkan terlihat dari menara di Apartemen Kalibata City. Jadi anda bisa bayangkan kecepatan air yang meninggi tiba-tiba, apalagi bila ditambah hujan deras tengah turun di Jakarta pada dini hari. Hebatnya mereka terbiasa dengan kondisi tersbut, sehingga lahirlah sikap toleransi antartetangga dan saling bahu-membahu saat bencana tiba..
Sulit bila pemkot tidak digugat oleh rakyatnya sendiri, sementara di sisi lain pengembang swasta menyediakan pintu air, membuat jaringan utilitasnya sendiri, membuat jalan aspal yang bagus, meninggikan urugan permukaan tanah, membuat tanggul, bahkan bila perlu merka sanggup mengelola waduk domestiknya sendiri. Bagaimanapun seharusnya pemerintah itu wajib dan harus menyediakan sarana-prasarana yang layak bagi kepentingan warganya termasuk bergegas memikirkan kembali tata ruang kota, dan mengelola banjir untuk segera dibereskan, selain masalah transportasi tentunya. Kita tidak bisa lagi terjebak dengan wawasan pandang antara swasta atau pemerintah semata, karena pengembang juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika mereka membeli tanah dan meningkatkan kualitasnya termasuk membangun jalan dan meninggikannya sehingga banjir tidak berdampak langsung ke dalam pemukiman mereka. Pemerintah memang dituntut lebih berinisiatif, imanjinatif, dan aktif mengatasi masalah banjir, dan menata pemukiman kampung kota. Dalam hal ini pekerjaan Presiden Joko Widodo (2014-2019) bertambah karena tidak sekedar mengurus negara, melainkan termasuk Jakarta yang ditinggal mantan gubernurnya menjadi presiden. Banjir kota itu memang bencana negara! (Peter YG)
Kampung Cawang Asri yang terletak di tengah-tengah antara gedung-gedung kampus, beberapa kantor, Makodam Jaya, dan pertokoan di jalan Otista – Kalibata ini bila dipetakan sangat mirip labirin, yang ketika ditelusuri pelan-pelan kita menemukan sesekali rumah warga yang cukup luas dan masih ditanami mangga, banyaknya sudut & gang-gang sempit, kuburan kecil, pemakaman keluarga yang terlantar, warung-warung penjual sayur mayur (mereka benar-benar menjual tomat, bayam, wortel, dsb di dalam rumah), toko kelontong, warung indomie, kos-kosan, tempat penjilidan buku, rental warnet, rental playstation, salon, tempat jahit, bengkel service listrik, beberapa proyek percontohan kegiatan kampus, sedikit area terbuka cukup untuk anak-anak main bola, dan termasuk gang buntu. Beberapa rumah kampung disini juga ada yang menjadi bengkel kerja pembuatan oven atau panggangan gas, mirip dengan beberapa kawasan perkampungan batik di Solo dan Jogja. Memang Cawang juga identik dengan kawasan pengrajin industri rumahan pembuatan kompor minyak tanah, tetapi seiring dengan waktu dan perubahan maka mereka beralih menjadi produsen panggangan gas. Jadi cukup menarik menelusurinya, sebab kita selalu dapat menemukan sudut-sudut yang sangat lokal dan belum tentu seragam satu dengan lainnya. Semua rumah benar-benar individual, dan lucunya tidak mengenal batas privasi yang jelas. Warga juga terlihat plural, seperti misalnya ada orang Jogjakarta yang sudah 40 tahun tinggal di sini dan bertetangga dengan pendatang dari Medan. Di kampung seperti ini, kita bisa menemukan orang-orang yang berkumpul di depan rumah mereka, entah sekedar jaga warung atau ngobrol satu dengan lainnya.
Kampung Cawang ini juga sering terkena dampak banjir yang hebat hingga beberapa kawasan RT terendam hingga setingga dada orang dewasa. Terutama pada bagian kampung yang kawasannya paling rendah dan pemukimannya menempel langsung dengan alur Kali Ciliwung. Menurut penuturan mereka ketika banjir terjadi, arus air bisa menyeret orang dan menghabisi rumah-rumah yang berada di pinggiran kali tadi. Jadi bisa dibayangkan betapa rumit dan sengsaranya mereka ketika banjir menghabisi semua yang mereka miliki. Air hujan yang turun lebat di Bogor & Puncak dengan cepat segera menjadi arus liar yang melewati rumah-rumah kampung kota, dan terjadi tepat di tengah-tengah kota Jakarta, di tengah-tengah gedung perkantoran, bahkan terlihat dari menara di Apartemen Kalibata City. Jadi anda bisa bayangkan kecepatan air yang meninggi tiba-tiba, apalagi bila ditambah hujan deras tengah turun di Jakarta pada dini hari. Hebatnya mereka terbiasa dengan kondisi tersbut, sehingga lahirlah sikap toleransi antartetangga dan saling bahu-membahu saat bencana tiba..
Sulit bila pemkot tidak digugat oleh rakyatnya sendiri, sementara di sisi lain pengembang swasta menyediakan pintu air, membuat jaringan utilitasnya sendiri, membuat jalan aspal yang bagus, meninggikan urugan permukaan tanah, membuat tanggul, bahkan bila perlu merka sanggup mengelola waduk domestiknya sendiri. Bagaimanapun seharusnya pemerintah itu wajib dan harus menyediakan sarana-prasarana yang layak bagi kepentingan warganya termasuk bergegas memikirkan kembali tata ruang kota, dan mengelola banjir untuk segera dibereskan, selain masalah transportasi tentunya. Kita tidak bisa lagi terjebak dengan wawasan pandang antara swasta atau pemerintah semata, karena pengembang juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika mereka membeli tanah dan meningkatkan kualitasnya termasuk membangun jalan dan meninggikannya sehingga banjir tidak berdampak langsung ke dalam pemukiman mereka. Pemerintah memang dituntut lebih berinisiatif, imanjinatif, dan aktif mengatasi masalah banjir, dan menata pemukiman kampung kota. Dalam hal ini pekerjaan Presiden Joko Widodo (2014-2019) bertambah karena tidak sekedar mengurus negara, melainkan termasuk Jakarta yang ditinggal mantan gubernurnya menjadi presiden. Banjir kota itu memang bencana negara! (Peter YG)