Menurut sosiologi, pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik dalam lingkup ruang pemukiman maupun perkantoran yang berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berkegiatan, tempat hidup atau lingkungan binaan untuk sarana tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan itu sendiri. Oleh karena itu terjadilah pola bermukim dan terbentuklah pemukiman, baik itu terbentuk secara mengelompok, memanjang, atau bahkan menyebar sebagai sebuah suatu natur alamiahnya.
Berbekal pengertian sederhana ini, maka bisa jadi pemukiman yang liar dan kumuh itu bisa jadi hanya sekedar definisi semata, anggapan, dugaan, atau bahkan ilusi perseptual semata. Bagaimana bila rantai-rantai kekakuan keteknisan dilepas dulu sesaat, dan konsep definitif menghuni dan pemukiman itu dikontruksi ulang sehingga pemahaman kumuh, liar, dan janggal tidak lagi mengikat. Mari bermain dengan imajinasi dan sedikit berpikir lebih liar, katakanlah ini adalah ide yang skeptis sekalipun, namun layak diimpikan dan dipertimbangkan. Mari melihat ruang di bawah kolong jembatan, bangunan tak bertuan, tanah-tanah sisa, hunian terabaikan, bahkan ruas tanah pinggir kali, dan pinggir jalan kereta api, serta gugus pemukiman di sana yang diidentifikasi sebagai pemukiman liar, informal, dan kumuh. Masalah yang terjadi di sana itu bukan sekedar akibat ketidakhadiran perangkat teknis untuk melengkapi sebuah prasyarat & persyaratan pemukiman yang laik tinggal semata, namun karena konteks pemukiman yang akomodatif terhadap perilaku manusia yang disebut manusia informal itu tidak tersedia secara naluri dan diimbangi dengan modal teknis yang tepat oleh pemerintah kota setempat. Akibatnya pemerintah terbiasa mengambil jalan keluar dan melakukan penggusuran atau relokasi, tanpa memerhatikan di pemukiman seperti itulah orang-orang yang bekerja sebagai penyapu jalanan, loper koran, tukang tambal ban, warteg, ibu-ibu jualan jamu gendong, tukang ojek, dan pekerja-pekerja informal lainnya yang justru bertinggal; bermukim lalu, ironisnya mereka dibutuhkan utk melayani perikehidupan lainnya yang disebut sebagai kehidupan formal dan normal.
Arsitek Kurokawa (Kurokawa 1997, 68-70) pernah menyarankan tentang model pembangunan pemukiman partisipatif yang lentur dan organik sehingga menelurkan gagasan metabolisme arsitektur perkotaan. Gagasan hunian; hotel kapsul yang sekarang mudah ditemui di Jepang bisa dikatakan adalah hasil konsep berpikir Kurokawa saat itu. Lalu bagaimana dengan konteks pemukiman tadi di awal artikel ini ditulis? Saya justru berharap agar gagasan dan definisi rumah liar, dan hunian kumuh itu dihapus saja karena justru terbukti tidak membuat terobosan pemikiran bersahaja dlm desain kota dan membuat arsitek, termasuk desainer interior itu tertantang untuk berpikir di luar batas, dan memikirkan kotak wacana terobosan secara desain. Pendekatan menggusur dan merelokasi manusia dari habitatnya itu hanya dengan sekedar memindahkan manusia dari kebiasaan lamanya yang ditenggarai kumuh, jelek, liar, tidak manusiawi, terbelengkalai, dan informal ini bahkan akhirnya terjebak menjadi sekedar proyek teknik, dan moda unjuk gigi aparat dengan perangkat penegakan hukumnya untuk merampas hak bermukim manusia. Kenyataannya, ketika mereka sudah pindah sekalipun ke tempat bermukim yg baru sekalipun, kekumuhannya masih tetap saja melekat dengan kesehariannya dahulu. Sudah seharusnya konteks ini diperbincangkan kembali dengan memerhatikan sumbangsih ekologis dan metabolisme terhadap gagasan menghuni pada pemukiman-pemukiman seperti ini. Pada akhirnya manusia sanggup beradaptasi terhadap lingkungan dan alamnya, dan gerobak sampah pemulung sekalipun adalah tilam paling nikmat untuk merebahkan kepala.
Notes:
Metabolism in Architecture
Kisho Kurokawa
Theories and Manifestoes of Contemporary Arhitecture
Halaman 68 – 70
National Book Network, 1997
Berbekal pengertian sederhana ini, maka bisa jadi pemukiman yang liar dan kumuh itu bisa jadi hanya sekedar definisi semata, anggapan, dugaan, atau bahkan ilusi perseptual semata. Bagaimana bila rantai-rantai kekakuan keteknisan dilepas dulu sesaat, dan konsep definitif menghuni dan pemukiman itu dikontruksi ulang sehingga pemahaman kumuh, liar, dan janggal tidak lagi mengikat. Mari bermain dengan imajinasi dan sedikit berpikir lebih liar, katakanlah ini adalah ide yang skeptis sekalipun, namun layak diimpikan dan dipertimbangkan. Mari melihat ruang di bawah kolong jembatan, bangunan tak bertuan, tanah-tanah sisa, hunian terabaikan, bahkan ruas tanah pinggir kali, dan pinggir jalan kereta api, serta gugus pemukiman di sana yang diidentifikasi sebagai pemukiman liar, informal, dan kumuh. Masalah yang terjadi di sana itu bukan sekedar akibat ketidakhadiran perangkat teknis untuk melengkapi sebuah prasyarat & persyaratan pemukiman yang laik tinggal semata, namun karena konteks pemukiman yang akomodatif terhadap perilaku manusia yang disebut manusia informal itu tidak tersedia secara naluri dan diimbangi dengan modal teknis yang tepat oleh pemerintah kota setempat. Akibatnya pemerintah terbiasa mengambil jalan keluar dan melakukan penggusuran atau relokasi, tanpa memerhatikan di pemukiman seperti itulah orang-orang yang bekerja sebagai penyapu jalanan, loper koran, tukang tambal ban, warteg, ibu-ibu jualan jamu gendong, tukang ojek, dan pekerja-pekerja informal lainnya yang justru bertinggal; bermukim lalu, ironisnya mereka dibutuhkan utk melayani perikehidupan lainnya yang disebut sebagai kehidupan formal dan normal.
Arsitek Kurokawa (Kurokawa 1997, 68-70) pernah menyarankan tentang model pembangunan pemukiman partisipatif yang lentur dan organik sehingga menelurkan gagasan metabolisme arsitektur perkotaan. Gagasan hunian; hotel kapsul yang sekarang mudah ditemui di Jepang bisa dikatakan adalah hasil konsep berpikir Kurokawa saat itu. Lalu bagaimana dengan konteks pemukiman tadi di awal artikel ini ditulis? Saya justru berharap agar gagasan dan definisi rumah liar, dan hunian kumuh itu dihapus saja karena justru terbukti tidak membuat terobosan pemikiran bersahaja dlm desain kota dan membuat arsitek, termasuk desainer interior itu tertantang untuk berpikir di luar batas, dan memikirkan kotak wacana terobosan secara desain. Pendekatan menggusur dan merelokasi manusia dari habitatnya itu hanya dengan sekedar memindahkan manusia dari kebiasaan lamanya yang ditenggarai kumuh, jelek, liar, tidak manusiawi, terbelengkalai, dan informal ini bahkan akhirnya terjebak menjadi sekedar proyek teknik, dan moda unjuk gigi aparat dengan perangkat penegakan hukumnya untuk merampas hak bermukim manusia. Kenyataannya, ketika mereka sudah pindah sekalipun ke tempat bermukim yg baru sekalipun, kekumuhannya masih tetap saja melekat dengan kesehariannya dahulu. Sudah seharusnya konteks ini diperbincangkan kembali dengan memerhatikan sumbangsih ekologis dan metabolisme terhadap gagasan menghuni pada pemukiman-pemukiman seperti ini. Pada akhirnya manusia sanggup beradaptasi terhadap lingkungan dan alamnya, dan gerobak sampah pemulung sekalipun adalah tilam paling nikmat untuk merebahkan kepala.
Notes:
Metabolism in Architecture
Kisho Kurokawa
Theories and Manifestoes of Contemporary Arhitecture
Halaman 68 – 70
National Book Network, 1997