JAKARTA - Lalu, bagaimana melihat soal transportasi dalam perspektif cita-cita Menjadi Ekologis? Menjadi Ekologis kembali harus dipahami sebagai sebuah keadaan di dalam ekosistem kehidupan yang terdiri atas beragam (subyek) organisme hidup, sebuah keadaan dimana beragam subyek yang unik dan saling pengaruhi tersebut mendapatkan ruang hidup dan menemukan keselarasan satu dengan lainnya. Sebagai organisme hidup, bergerak dan berpindah adalah takdir sekaligus juga tuntutan yang harus dipenuhi. Karenanya pergerakan dan perpindahan bukan saja soal bagaimana mengatur cara berpindah atau tentang apa yang mampu memindahkan (moda), tapi yang terpenting adalah bahwa kebutuhan untuk bergerak dan berpindah (mobilitas) adalah hak yang mendasar. Gerak dan perpindahan yang tidak semata mendorong terjadinya pertemuan dan keterhubungan (koneksi & kolektivitas), tapi juga menjamin berlangsungnya gerak kehidupan (yang lestari).
Karenanya, segala upaya yang menghambat dan mempersulitnya adalah upaya tak peka atas hak dasar ini, dan dapat disebut sebagai hal yang jauh dari cita-cita menjadi ekologis. Lalu bagaimana, (sistem) transportasi dalam konteks ruang kota sebagai habitat - dengan konsep dan segala turunan implementasi strategisnya mampu mendorong cita-cita menuju ekologis ini ? Apa saja persoalan- persoalan juga petunjuk-petunjuk jawaban yang mampu penuhi hak dasar untuk bergerak dan berpindah, yang berarti juga berkeadilan bagi semua anggota ekosistem kota, hingga mampu mendorong terjadinya keselarasan hidup ekosistem? (Adi Wibowo) JAKARTA - Bila Ekologis (Oikos = Lingkungan/ habitat; Logos = Nalar / pikiran) berarti segala nilai dan sifat yang berkaitan dengan nalar kerja sebuah habitat atau lingkungan, maka Menjadi Ekologis dapat diartikan sebagai berbagai cara upaya untuk (menuju) sebuah keadaan dimana laku, sikap, dan kerja satu atau sekelompok mahluk hidup yang berada di dalam sebuah habitat, mampu selaras dengan nalar kerja habitatnya. Memahami nilai dan sifat ekologis berarti juga menuntut upaya untuk memahami bahwa setiap mahluk hidup di sebuah habitat, akan terhubung dengan mahluk hidup yang lain di dalam kesatuan ekosistem: suatu tatanan kesatuan yang secara utuh dan menyeluruh antar segenap unsur mahluk hidup yang saling tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dari sini, dapat dipahami bahwa salah satu konsekuensi kritis dari upaya mencari jalan menuju ekologis adalah mempertanyakan kembali posisi manusia di dalam habitatnya, di dalam ekosistemnya. Cukup lama kita menerima dogma dan begitu percaya bahwa manusia adalah pemimpin (mahluk hidup) bagi yang lainnya. Dogma ini bukan hanya menuntun pemahaman kita bahwa manusia ‘lebih’ dari mahluk hidup yang lain, yang kemudian menutup kesempatan manusia untuk melihat ‘kehebatan’ yang lainnya, tapi juga memberikan keyakinan yang ‘sesat’ bahwa nalar manusialah yang utama dan paling berguna dalam menjaga keberlangsungan kerja ekosistem. Egosentrik ! Yang terburuk, dogma di atas menghadirkan persepsi bahwa segala yang ada di ekosistem disediakan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya bagi manusia demi penuhi kelangsungan hidupnya. Dan sebagai mahluk yang secara inisiatif menempatkan dirinya di puncak ekosistem, persepsi ini mengantar manusia sebagai yang paling berwenang dalam menentukan nalar, sebagai penguasa dan kemudian, pengeksploitasi mahluk hidup lain yang berada di ‘bawah’nya. Menjadi Ekologis juga menjadi tantangan besar bagi manusia sebagai bagian dari ekosistem kehidupan, karena ini berarti meminta manusia segera mencari cara dalam membangun relasi yang utuh antar dirinya. Nilai-nilai universal kemanusiaan yang dijadikan dasar relasi antar manusia, meskipun hari ini belum mampu menyelesaikan banyak persoalan yang muncul diantaranya, ditantang untuk memperluas perspektifnya : bahwa kemanusiaan bukanlah tujuan, bukan lagi yang puncak dan utama, tapi barulah satu pengantar jalan (yang wajib ditempuh) untuk mampu secara bersama-sama mengerti, memahami, hingga kemudian terlibat dan mengambil peran dalam proses kerja sebuah eksosistem. Dalam penyampaian yang lebih sederhana, Menjadi Ekologis berarti sebuah kesadaran yang dimulai dari kerelaan hati manusia untuk menggeser posisinya, dari egosentrik melebur bersama-sama dengan mahluk hidup yang lainnya menjadi sebuah ekosistem yang utuh – bersama-sama menjadi ekosentrik. Menjadi Ekologis tentunya dan karenanya tak pernah menjadi keadaan yang final dimana halnya ekosistem adalah kumpulan berbagi mahluk yang terus tumbuh bergerak dan hidup, sebuah keadaan dinamis dan kompleks, maka upaya untuk mengenal dan mencari petunjuk menuju keadaan yang selaras dengan segala nilai dan sifat-sifat ekosistem, adalah juga kumpulan beragam upaya, yang tak pernah berhenti dan terus menerus, untuk mengenal dan mencari pentunjuk tentang kehidupan itu sendiri. --- Mengenal kehidupan berarti juga mencoba mengapresiasi dan mencari petunjuk dalam banyak peristiwa keseharian. Mudahkah? Semestinya tidak. Menjadi tidak mudah sebab keseharian adalah peristiwa yang tak tunggal. Kumpulan peristiwa yang bergerak tak putus, tumpuk menumpuk satu sama lain, bahkan dengan begitu cepat dan terus ‘berulang’ terjadi. Inilah yang kadang menjadikan keseharian sering terlihat dan dirasakan sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bukan karena tidak adanya kualitas dalam peristiwa-peristiwa tersebut tapi terlebih karena peristiwa keseharian, dalam derap kehidupan manusia hari ini yang ditantang untuk makin cepat, hampir tidak menyisakan ruang apresiasi. Lalu bila semua keseharian yang biasa-biasa saja dibiarkan lewat dan berlalu, dimana dan bagaimana kita bisa menemukan petunjuk-petunjuk tentang kehidupan? Dalam proyeknya, Jakarta, Estetika Banal, Erik Prasetya, seorang seniman fotografi, mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk melihat lebih dekat kota Jakarta, sebagai ruang hidupnya, dalam kumpulan rekaman gambar fotografi. Erik – yang juga salah satu dari 30 Fotografer paling Berpengaruh di Asia seperti dilansir Invisible Photographer Asia (IPA) – mencoba melihat bahwa kota Jakarta dalam kesehariannya yang banal (baca:datar, biasa-biasa saja), mungkin menyembunyikan berbagai kualitasnya yang unik dan (mungkin saja) estetik. Lewat rekaman fotografinya, Erik tidak sedang berusaha tampil sebagai seorang sutradara, konstruktor sebuah wacana, namun membiarkan dirinya menangkap dan merekam peristiwa yang berlalu di ruang kota Jakarta, dengan cara spontan dan apa adanya. Karena justru lewat ke-apaada-annya inilah, Erik berharap bisa menemukan banyak petunjuk tentang ‘Yang Lain’. “Fotografi memiliki takdir untuk mengungkap dan menyingkapkan”, demikian catat Erik di bukunya Jakarta, Estetika Banal. Lewat optimisme Erik ini, bolehlah juga kita semua ikut optimis dan berharap, baik secara individu maupun bersama-sama menyingkap dan menemukan sedikit atau banyak petunjuk tentang tapak perjalanan panjang Menjadi Ekologis, sebuah perjalanan panjang bersama semua mahluk kehidupan. (Adi Wibowo) Artikel ini telah ditulis oleh Marco Kusumawijaya sebelumnya di:
http://mkusumawijaya.wordpress.com/2013/11/03/menjadi-ekologis-pengantar-untuk-peraturan-perkotaan/ Suatu peraturan tentang kota yang disusun pada saat ini, dan sudah barang tentu untuk membina kota-kota kita dalam setidak-tidaknya dua puluh tahun mendatang, harus mengantarkan kota-kota di Indonesia masuk ke dalam abad ekologis, dengan cara-cara yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Agar tidak simpang-siur, hal-hal dasar ini saya tawarkan di muka untuk mendapat kesepahaman bersama-sama: - Menjadi ekologis bukanlah sekedar suatu kecenderungan sesaat yang kita ikuti demi citranya, melainkan suatu kebutuhan dasar. - Menjadi ekologis adalah satu-satunya cara menyintas dan menjadi berdaya saing di masa depan, baik karena pertimbangan pragmatis (karena kota-kota lain telah, dan makin banyak yang melakukannya) maupun karena pertimbangan strategis. - Transisi ekologis bukanlah suatu beban yang merugikan, melainkan suatu investasi produktif bagi masa depan. - Menjadi ekologis berarti sekaligus hemat (efisien) dalam produktivitas, dan cara lain untuk tumbuh secara berkualitas lestari. - Kota krusial sebagai pemakai terbesar (40%) material yang diambil dari alam. - Kota krusial sebagai tempat konsumsi dan produksi yang makin besar andil-nya. (2006: 50 % penduduk dunia bersifat urban) - Kota adalah potensi masalah sekaligus solusi. - Sedang ada temuan-temuan (inovasi) yang terus berlangsung di dalam berbagai bidang, termasuk teknologi bahan, pertanian, partisipasi, dan lain-lain yang harus dimanfaatkan oleh kota dalam mengubah dirinya menjadi ekologis. - Menjadi ekologis bukan sekedar mengatasi perubahan iklim, yang terjadi karena emisi carbon berlebihan, tetapi mengatasi keterbatasan dan ketertetapan jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan. - Yang diperlukan bukan saja transisi kota low-carbon tetapi juga low-entropy. - Bagi negara sedang berkembang, transisi ekologis adalah suatu keuntungan “late comer“, bukan kesusahan yang melebihi negera-negara maju. Ia dapat menghindari kesalahan para pendahulu, dan dapat melompat ke masa depan sama cepat dengan negara maju. - Bagi negara Indonesia, kekayaan sumber daya alam, adalah sekaligus godaan untukbusiness as usual dan kesempatan melangsungkan transisi ekologis secara mudah dan lestari. Dengan kata lain, menjadi ekologis bukanlah semata keharusan idealistik moral dansurvival of the fittest, melainkan juga suatu keharusan pragmatis ekonomis, yang pada gilirannya menuntut perubahan sosial, budaya dan politik. Sejauh saya dapat mengumpulkan, ada tiga strategi (bertahap atau berbarengan) untuk kota-kota melakukan transisi ekologis:
1. Decoupling City Working Group, International Resource Panel (IPC) UNEP menganjurkan suatu pendekatan “decoupling” dalam laporannya. Ada dua decoupling: - Resource decoupling: melepaskan ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada penggunaan sumber daya - Impact decoupling: melepaskan pertumbuhan ekonomi dari peningkatan dampak lingkungan. Laporan ini menekankan pentingnya visi yang dibangkitkan bersama pemangku kepentingan demi memperhatikan sifat-sifat khas tiap-tiap kota. Kota-kota di negara sedang berkembang memiliki keuntungan dibandingkan dengan kota-kota di negara maju, yang telah menjadi tergantung pada teknologi kedaluwarsa (yang tidak ekologis). Kota-kota di negara sedang berkembang dapat secara besar-beasaran membangun teknologi prasarana alternatif untuk melompat ke solusi-solusi yang lebih lestari, daripada melakukan investasi pada apa yang nanti akan dibongkar lagi. Prasarana yang dibangun hari ini akan mempengaruhi aliran sumber daya selama dasawarsa-dasawarsa mendatang. Perencanaan kota harus fokus pada efisiensi sumber daya yang memperhatikan perspektif kelestarian jangka-panjang dan bukan business as usual. Diperkirakan, untuk memberlangsungkan perubahan-perubahan yang diperlukan, akan terus menerus diperlukan inovasi dan kreativitas, yang karena itu memerlukan peranintermediaries. Resource Decoupling pada kosekuensinya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam, dapat mendorong produktivitas yang lebih tinggi (dan karena itu mengkonsumsi lebih banyak bahan dan energi). Ini berarti daya saing ekonomi akan meningkat. Sedangkan Impact Decoupling akan meningkatkan kualitas lingkungan, dan pada gilirannya kualitas hidup serta kualitas sumber daya manusia. Decoupling adalah strategi ekonomi masa depan. Tetapi decoupling semata tidak mencukupi. Meskipun–melalui decoupling– pemanfaatan sumber daya menjadi lebih efisien, hal itu tidak menghentikan sama sekali pengurasan sumber daya menuju ke tetes penghabisan, sebab jumlah penduduk dunia yang bertambah akan tetap menuntut jumlah total yang besar, meskipun jumlah per kapita mengecil.[3]Pendekatan decoupling hanya menunda unsustainability, tidak membalikkan proses menjadi menuju sustainability. Karena itu diperlukan lagi langkah atau strategi berikutnya, yaitu: - Substitusi (Substitution) ke bahan dan energi terbarukan. - Pemulihan (Recovery) kemampuan alam untuk mendukung kehidupan. 2. Substitusi Sejak revolusi industri, dan terutama meningkat secara tajam sesudah PDII, ketergantungan pada bio-massa menurun, dan ketergantungan pada bahan-bahan tidak terbarukan (mineral dan metal) serta sintetik meningkat. Substitusi pertama-tama bertujuan membalikkan kecenderungan itu.Beberapa pemikiran (antara lain: William McDonough, Cradle to Cradle dan Gunter Pauli, Blue Economy) menganggap dengan substitusi kita tidak perlu “berhemat”. Masalahnya bukan seberapa banyak konsumsi, tapi apa yang dikonsumsi. Apabila yang dikonsumsi itu diproduksi dengan cara-cara yang tidak menimbulkan dampak (misalnya sampah) dan sepenuhnya terbarukan, maka tidak menjadi soal seberapa banyak dikonsumsi. Sebagaimana bangunan, kota harus dapat dibangun dengan bahan dan energi sesedikit mungkin dan, dalam yang sedikit itu sebanyak-banyaknya harus merupakan bahan dan energi terbarukan. Kota yang dihasilkan harus dapat digunakan oleh penghuninya dengan bahan dan senergi yang sedikit-dikitnya, dan sebanyak-banyaknya dalam yang sedikit itu haruslah terbarukan. Proses dan hasil dari membangun kota itu harus memudahkan dan membantu warganya mengubah prilakunya menjadi ekologis. Default option dan nudge[4]dapat ditanamkan dalam sistem kota-kota kita untuk mndorong perubahan prilaku. Substitusi yang berhasil, bahkan bila pun hanya sebagian, pada konsekuensinya juga akan meningkatkan daya saing ekonomi, sebab dalam jangka panjang ketersediaan bahan dan energi akan menjadi makin murah. Maka efisiensi meningkat tanpa kekhawatiran, tanpa batas, setidaknya pada bidang atau value-chain di mana substitusi telah berhasil dilakukan. 3. Pemulihan (Recovery) Impact decoupling dan substitusi akan menurunkan kecepatan kerusakan alam. Ini akan memberikan waktu kepada alam untuk memulihkan dirinya. Tetapi pemulihan ini dapat dipercepat dengan tindakan sadar berupa investasi sengaja untuk membantu pemulihan alam mendukung kehidupan. Mungkin sekali juga pada kasus-kasus tertentu pemulihan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan memerlukan tindakan aktif, berarti investasi aktif. Strategi pemulihan adalah dengan sengaja, dalam tiap-tiap tindakan pembangunan, menyisihkan atau menginternalisasikan bukan saja biaya kerusakan, tetapi juga biaya investasi kembali kepada alam, untuk memulihkan kapasitasnya hinga lestari (kembali ke kekeadaan semula, sebelum revolusi industri, bila dimungkinkan). Ada kasus dimana hal tersebut tidak sesulit atau semahal yang diduga orang. Ada suatu contoh di Labuanbajo. Pater Marsel Agot berhasil menghutakan sebuah bukit di sana hanya dalam waktu 10 tahun. Sebagai akibatnya muncul satu aliran sungai permanen dalam beberapa tahun terakhir. (Sungai kedua sedang menjadi). Contoh cita-cita yang sulit tapi bukan tidak mungkin, misalnya adalah: Sungai-sungai di Jakarta (dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia) kembali menjadi sumber air minum, seperti dulu Ciliwung. Pencapaian recovery memenuhi persyaratan yang dirumuskan oleh Our Common Future (Brundtland Report, 1987) sebagai “pembangunan lestari”: “Memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikut memenuhi kebutuhannya.” Pada konsekuensinya, ia juga meningkatkan daya tahan ekonomi, sambil merumuskan kembali ekonomi (oikos-nomos, norma rumah) agar sejalan kembali dengan ekologi (oikos-logos, nalar rumah) Bagaimana menjabarkan decoupling, substitusi, dan pemulihan, ke dalam pembangunan kota? - Defisit prasarana dan sarana kota-kota Indonesia yang gawat dalam segala bidang (mobilitas, sanitasi, perumahan, kesenian,..dan lain-lain) harus dibangun baru dalam bentuk dan dengan cara-cara yang ekologis (sesuai nalar-alam), dengan keharusan decoupling, substitusi dan pemulihan di atas. - Prasarana yang sudah ada harus secara bertahap dirombak menjadi ekologis. - Sistem dan Bentuk kota (tata ruang dan tata kota) yang sudah ada perlu secara bertahap diarahkan menjadi ekologis - Kota, bangunan dan unsur-unsur lainnya, yang baru hendak dibangun, harus memenuhi kaidah-kaidah ekologis. - Kota sebagai suatu sistem harus memudahkan perubahan perilaku penghuni dan pemakainya. - Tiap-tiap investasi pembangunan harus menyertakan investasi pemulihan ekologis. Kota-kota ekologis tidaklah sulit dirumuskan, karena sudah cukup banyak penelitian sejak akhir tahun 1960an. Secara sederhana, prioritas pokok bagi kota-kota untuk menjadi ekologis adalah: - Memprioritaskan angkutan umum - Memiliki tata ruang yang terpadu dengan efisien dengan sistem mobilitas (angkutan umum), sanitasi, produksi dan distribusi barang dan jasa. - Melakukan konservasi air - Melakukan pengolahan sampah hingga menghasilkan zero-waste di dalam dirinya sendiri - Memprioritaskan penggunaan energi terbarukan dalam semua lapisan - Mengembangkan hubungan metabolisme sirkuler yang efisien dengan lingkungan sekitar (region) - Mencerdaskan aset manusianya (politisi, birokrasi, warga) untuk terus menerus secara kolektif kreatif menghasilkan inovasi-inovasi, mampu memperbaharui diri dan menyelesaikan masalah serta tantangan-tantangan masa depan terus menerus. - Membantu dan memudahkan warganya mengembangkan perilaku konsumsi yang ekologis. Peraturan atau undang-undang dapat mengarahkan kota-kota Indonesia menjadi ekologis dalam 20 tahun mendatang dengan memberikan dorongan agar mencapai transisi di atas: - Integrasi Kota dan Kabupaten dalam keputusan bersama tentang hubungan desa-kota, terutama terait dengan arus bahan makanan dan sumber daya alam yang tidak terbagi (air, jasa hutan, udara, …) - Pengembangan industri daur ulang dan re-capture dengan siste, - Pengembangan permintaan (demand) atas produk-produk organik, mensubsidi awalsupply, dan membangun prasarana distribusinya. - Pasar segar sebagai titik strategis mata rantai makanan dan hubungan desa-kota. - Pengembangan bentuk-bentuk hunian yang kompak, mixed-use, … - Pengembangan bahan bangunan dan energi terbarukan. - Mensyaratkan sistem angkutan umum yang handal dan utama - Tata ruang yang: melestarikan alam, mengintegrasikan sistem mobilitas, sanitasi, hunian berkepadatan tinggi namun berketinggian menengah (4-6 lantai) - Meninggikan persyaratan bangunan mengunakan elevator (menjadi 6 lantai ke atas). - Mendorong dan menciptakan ruang serta waktu untuk produksi bersama pengetahuan perkotaan yang spesifik dan komparatif di kalangan masyarakat luas. - Menggerakkan kerja bersama bukan saja sebagai suatu hak partisipasi politik, melainkan suatu keharusan untuk membangun rasa-memiliki atas rencana perubahan dan memproduksi inovasi kreativ secara maksimal. Sistem Kota-kota Indonesia. Sistem mengandaikan unsur-unsur (entitas-entitas) DAN hubungan-hubungan. Karena itu KSPPN perlu menekankan juga bagaimana mengembangkan hubungan-hubungan antara kota-kota dan antara kota dan wilayah sekitarnya di Indonesia: - mobilitas - intelektual - interaksi horisontal disamping yang hirarkis Dalam hal pembangunan kelestarian hubungan antar-kota dan antara kota dan wilayah (kabupaten) memiliki kepentingan khusus, yaitu mengintegrasikan kembali pengelolaan sumber daya alam dan budaya secara lebih kuat dan jelas. Kota dan wilayah tergantung kepada sumber daya alam yang pada umumnya bersifat lintas batas administrasi, dan hidup saling tergantung dalam entitas-entitas alam: aliran sungai, water-catchment, pulau, sistem arus, sistem angin/udara. Penguatan hubungan ini memerlukan pemaduan yang tidak sederhana, memerlukan dorongan, diberi panduan, dukungan teknis, diatur protokolnya.Secara ideal, sebenarnya dualisme pemerintahan kabupaten dan kota harus dihapus.Ecological governance memerlukan integrasi antara kota dan wilayah sekitarnya, dengan mempertimbangkan batas-batas ekologis ketimbang administratif. Kota Cerdas dan Berdaya Saing Ada banyak arti yang diberikan pada istilah Kota Cerdas dan Berdaya Saing. Yang paling inti adalah makna bahwa pertumbuhan yang bergantung terutama kepada kecerdasan, pada masukan intelektual (inovasi dan kreativitas) bukan material. Selain itu: adanya kemampuan untuk terus menerus beradaptasi dan mencari solusi (tidak ada yang once for all). Dari uraian di atas, jelas bahwa menjadi ekologis adalah salah satu strategi penting yang optimal dan pragmatis untuk meningkatkan daya saing secara lestari. Bagi Indonesia yang kaya sumber daya alam, hal itu lebih-lebih lagi strategisnya. Yang penting ditegaskan adalah bahwa kecerdasan yang dimaksud bersifat kolektif yang berdasarkan interaksi antar bidang, disiplin, dan warga. Kecerdasan kolektif: 1+1 = >2. Karena itu hubungan-hubungan, ruang dan waktu interaksi adalah sangat penting. Kota yang mendukung proses itu adalah yang bertataruang yang kompak, yang terpadu dengan sistem angkutan umum yang handal. Tata ruang dan pelayanan prasana kota harus baik untuk mendukung dan memudahkan pergaulan antar warga, lintas bidang dan disiplin, agar muncul rasa memiliki dan keinginan untuk berinteraksi dan kontribusi yang saling menguntungkan. Kota harus mampu membangkitkan keinginan untuk mengambil untung dari interaksi. Kota Hijau Dalam suatu peraturan resmi, istilah Kota Hijau harus dihindari, karena bersifat metaforik dan kabur. Pada saat ini banyak pihak juga menggunakan istilah “biru” (pada “Ekonomi Biru”). Istilah “ekologis” bersifat sederhana dan langsung: sesuai nalar rumah/alam. Kotak Layak Huni (Livable City?) Adalah terkait dengan sistem urutan kota-kota dunia dalam rangka kompetisi menarik investor. Ini sangat terkait dengan kehendak modal, dan tuntutan subyektif manusia tentang kenyamanan. Keduanya merupakan konsep yang sedang dipertanyakan dalam rangka membangun kelestarian (kota termasuk): seberapa jauh alam harus diubah memenuhi tuntutan manusia, dan bukan sebaliknya? Setidaknya, jalan tengahnya adalah: silakan merumuskan apa saja tingkat kenyamanan yang dikehendaki, asalkan memenuhi syarat-syarat ekologis: decoupling, substitusi, dan pemulihan (yang bila dipenuhi sebenarnya memberikan tingkat kenyamanan tertentu pula). Jadi, selain sebagai tujuan, Kota Ekologis perlu menjadi syarat bagi keinginan-keinginan lain. |