Pada Sabtu, 27 September 2014 lalu telah diadakan Workshop Sesi 3.0 dengan tema Transportasi, dengan narasumber Azas Tigor Nainggolan dari Forum Warga Kota Jakarta dan Putri Sentanu dari nebengers.com. Keduanya membahas tentang peliknya masalah transportasi umum yang tampak tiada kunjung selesai dengan pemahaman dan pendekatan yang berbeda. Azas Tigor Nainggolan mengambil sudut pandang seorang aktivis, pengacara, dan seorang pemerhati masalah perkotaan dengan seruan: "Kita harus rebut kota!" dengan maksud menantang kaum muda Menjadi Ekologis untuk mengambil peran dalam perencanaan kota melalui cara membuat usulan-usulan desain kepada pemerintah kota secara terus menerus lewat kanal-kanal alternatif, misalnya melalui lembaga swadaya masyarakat. Di sisi lain, sebaliknya Putri Sentanu itu layaknya masyarakat yang merespon peliknya masyarakat bertransportasi massal alih-alih melakukan terobosan madani dengan menyerukan agar para komuter bisa saling nebeng bersama-sama untuk ke satu tujuan. Sebuah terobosan ide yang berkembang pesat lewat jaringan komunitas, dan sosial media di dunia maya yang segera mewabah dan mengilhami banyak warga kota, khususnya Jakarta.
Mari melihat Bangkok hari-hari ini. Di sana Anda akan menemukan beberapa lapis sistem transportasi massal yang terbentuk dan menghubungkan jalan-jalan utama mereka. Lapisan pertama ialah kereta bawah tanah, lalu lapis kedua yang menjadi koridor jalan utama bagi kendaraan bermotor pribadi dan kendaraan umum, lalu lapisan jalur jalan skytrain, kemudian lapisan koridor pejalan kaki yg melayang di atas jalan utama kendaraan beroda, dan lapis moda angkutan umum pada kanal-kanal airnya. Sistem ini diusahakan saling tali-temali dengan stasiun perhentian yang terpadu dengan koridor pusat perbelanjaan dan area pemukiman. Meski tetap ada kemacetan di sana, namun demikian, hali itu masih dapat ditoleransi.
Mari bayangkan seperti ini, di Pasar Baru terdapat jembatan penyeberangan yang berfungsi juga sebagai koridor belanja, maka andaikata di bawah tanahnya terdapat rute kereta maka kita akan turun ke bawah, antri tiket elektronik dan kembali pulang ke rumah yang ada di Cijantung hanya dalam tempo 45 menit. Atau bayangkan, Anda naik ke lantai jembatan tadi untuk antri tiket kereta layang ke arah Tebet dan turun tepat di stasiun yang menghubungkannya dengan Pizza Hut Tebet. Atau bisa juga naik busway lalu turun di depan Trisakti, kemudian naik ke lapis atasnya dan lanjutkan lagi ke arah Dadap Tangerang dengan kereta layang, atau monorail. Silahkan juga antri tiket kembali dan melanjutkannya ke arah Taman Anggrek, turun sebentar dan segera ganti haluan tanpa harus keluar dari stasiun terpadu tadi di bawah tanahnya, dan segera ambil rute ke arah Cinere. Semua ruas itu saling terhubung, dan dimensi jarak jauh- dekat menjadi relatif sekarang.
Pejalan kaki juga tidak usah takut ditabrak, sebab ada jalur pejalan kaki yang teduh, rindang, dan ramah. Di setiap 100 - 200 meter ada bangku di koridor jalan, juga tempat sampah yang bersih. Saat itu moda transportasi individual berbasis karbon & timbal berkurang banyak, dan itu tidak membuat warga kota merasa susah hati, malah lebih gembira dan riang untuk menikmati ruang dan koridor kota sambil sesekali melempar butiran makanan merpati ke pinggiran taman kota di depan Taman Anggrek. Semua serba cepat, murah, tepat waktu, efektif, dan terpadu. Peralihan ekologis ini menyenangkan semua orang karena tindakan pemaksaan untuk merubah perilaku berkendaraan berbasis energi dan sikap konsumtif atas bahan bakar, termasuk penggunaan moda transportasi individual berkurang banyak dan telah dikekang oleh hukum, denda, peraturan, sanksi, dan sekaligus apresiasi bagi mereka yang mengikutinya.
Paling tidak sarana & manajemen transportasi massal seperi itulah yang sudah ada dan dinikmati warga kota di Bangkok. Saat ini bila bertinggal dan bertransportasi di Jakarta, patutlah menimbang durasi di jalan guna melihat "kedekatan antartitik temu", bukan lagi sekedar menghitung dimensi kilometer tempuh. Mengapa demikian? Karena jarak tempuh sudah tidak lagi menjadi isu tentang kedekatan antartempat, melainkan waktu tempuh yang sudah semakin tidak terduga dengan indikasi kemacetan hingga paling cepat 1 jam. Bila saja Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia segera memerhatikan isu-isu transportasi berbasis komunal, komunitas, dan massal untuk perencanaan kota jangka panjang, maka sudah saatnya pemerintahan baru kelak Presiden Joko Widodo (2014-2019) memerhatikan pula isu manajemen transportasi massal ini, tersedia tidak hanya di Jakarta semata melainkan segara dibangun juga pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sebelum kota-kota itu menjadi besar dengan probelamatika yang sama yang dialami Jakarta. Sudah waktunya kampanye transportasi yang ekologis itu menjadi hak warga kota juga, dan saatnya direbut! (Peter YG)
Mari melihat Bangkok hari-hari ini. Di sana Anda akan menemukan beberapa lapis sistem transportasi massal yang terbentuk dan menghubungkan jalan-jalan utama mereka. Lapisan pertama ialah kereta bawah tanah, lalu lapis kedua yang menjadi koridor jalan utama bagi kendaraan bermotor pribadi dan kendaraan umum, lalu lapisan jalur jalan skytrain, kemudian lapisan koridor pejalan kaki yg melayang di atas jalan utama kendaraan beroda, dan lapis moda angkutan umum pada kanal-kanal airnya. Sistem ini diusahakan saling tali-temali dengan stasiun perhentian yang terpadu dengan koridor pusat perbelanjaan dan area pemukiman. Meski tetap ada kemacetan di sana, namun demikian, hali itu masih dapat ditoleransi.
Mari bayangkan seperti ini, di Pasar Baru terdapat jembatan penyeberangan yang berfungsi juga sebagai koridor belanja, maka andaikata di bawah tanahnya terdapat rute kereta maka kita akan turun ke bawah, antri tiket elektronik dan kembali pulang ke rumah yang ada di Cijantung hanya dalam tempo 45 menit. Atau bayangkan, Anda naik ke lantai jembatan tadi untuk antri tiket kereta layang ke arah Tebet dan turun tepat di stasiun yang menghubungkannya dengan Pizza Hut Tebet. Atau bisa juga naik busway lalu turun di depan Trisakti, kemudian naik ke lapis atasnya dan lanjutkan lagi ke arah Dadap Tangerang dengan kereta layang, atau monorail. Silahkan juga antri tiket kembali dan melanjutkannya ke arah Taman Anggrek, turun sebentar dan segera ganti haluan tanpa harus keluar dari stasiun terpadu tadi di bawah tanahnya, dan segera ambil rute ke arah Cinere. Semua ruas itu saling terhubung, dan dimensi jarak jauh- dekat menjadi relatif sekarang.
Pejalan kaki juga tidak usah takut ditabrak, sebab ada jalur pejalan kaki yang teduh, rindang, dan ramah. Di setiap 100 - 200 meter ada bangku di koridor jalan, juga tempat sampah yang bersih. Saat itu moda transportasi individual berbasis karbon & timbal berkurang banyak, dan itu tidak membuat warga kota merasa susah hati, malah lebih gembira dan riang untuk menikmati ruang dan koridor kota sambil sesekali melempar butiran makanan merpati ke pinggiran taman kota di depan Taman Anggrek. Semua serba cepat, murah, tepat waktu, efektif, dan terpadu. Peralihan ekologis ini menyenangkan semua orang karena tindakan pemaksaan untuk merubah perilaku berkendaraan berbasis energi dan sikap konsumtif atas bahan bakar, termasuk penggunaan moda transportasi individual berkurang banyak dan telah dikekang oleh hukum, denda, peraturan, sanksi, dan sekaligus apresiasi bagi mereka yang mengikutinya.
Paling tidak sarana & manajemen transportasi massal seperi itulah yang sudah ada dan dinikmati warga kota di Bangkok. Saat ini bila bertinggal dan bertransportasi di Jakarta, patutlah menimbang durasi di jalan guna melihat "kedekatan antartitik temu", bukan lagi sekedar menghitung dimensi kilometer tempuh. Mengapa demikian? Karena jarak tempuh sudah tidak lagi menjadi isu tentang kedekatan antartempat, melainkan waktu tempuh yang sudah semakin tidak terduga dengan indikasi kemacetan hingga paling cepat 1 jam. Bila saja Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia segera memerhatikan isu-isu transportasi berbasis komunal, komunitas, dan massal untuk perencanaan kota jangka panjang, maka sudah saatnya pemerintahan baru kelak Presiden Joko Widodo (2014-2019) memerhatikan pula isu manajemen transportasi massal ini, tersedia tidak hanya di Jakarta semata melainkan segara dibangun juga pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sebelum kota-kota itu menjadi besar dengan probelamatika yang sama yang dialami Jakarta. Sudah waktunya kampanye transportasi yang ekologis itu menjadi hak warga kota juga, dan saatnya direbut! (Peter YG)